Hampir Setengah Warga Jerman Menyalahkan NATO, Akankah Jerman Mengubah Taktik Mengatasi Perang Rusia-Ukraina?

Lokasi Pembangunan Terminal Uniper LNF (Liquefied Natural Gas) di Jerman (Sumber: AP news)

ANDALPOST.COM – Invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina di awal tahun 2022 telah membuat banyak negara sulit memposisikan dirinya, termasuk Jerman. Negara tersebut sering mendapat kritik dari anggota Uni Eropa di Eropa Timur karena terlalu berhati-hati dalam bertindak.

Mereka memberikan komentar pedasnya kepada pemerintah Berlin karena sulit membantu mereka dalam memasok senjatanya.

Sejatinya, Jerman telah mengirimkan beberapa senjata andal mereka seperti howitzer dan beberapa peluncur roket untuk memerangi pasukan Rusia.

Negara yang memiliki bunga nasional Cornflower itu juga sudah berencana untuk memberikan sanksi terhadap Rusia. Mereka bahkan telah menghentikan proyek pipa Nord Stream 2 yang memasok gas Rusia ke negara tersebut sebelum invasi dimulai.

Meskipun begitu, di tengah-tengah penyerangan yang dilakukan Rusia dan Ukraina, masyarakat Jerman sendiri tampak semakin lelah dengan keadaan tersebut.

Sebuah survei yang dilakukan oleh CeMAS, organisasi non-profit yang memantau dan menganalisis perkembangan terkini, telah menunjukkan hasil yang mengejutkan. 

Jajak pendapat yang mereka lakukan kepada warga Jerman pada bulan Oktober menunjukkan bahwa hampir setengah warga Jerman percaya bahwa ada campur tangan NATO dalam perang Rusia-Ukraina.

Dalam survei tersebut, 40 persen warga Jerman mengatakan bahwa mereka percaya NATO telah memprovokasi Rusia untuk menyerang Ukraina. Jumlah tersebut meningkat menjadi 59 persen di provinsi-provinsi yang pernah menjadi bagian dari Jerman Timur.

Sepertiga responden dari survei memiliki pandangan yang sama bahwa Ukraina secara historis memang merupakan bagian dari Rusia. Sepertiga lainnya menerima teori konspirasi bahwa Amerika Serikat telah mendirikan sebuah laboratorium rahasia untuk mengembangkan senjata biologis di Ukraina.

Dibandingkan dengan jajak pendapat yang dilakukan oleh mereka pada bulan April, jumlah responden yang mendukung Rusia telah meningkat.

Menurut laman Aljazeera.com, data tersebut telah menunjukan bahwa propaganda dan anti-amerika yang tertanam dalam budaya politik Jerman menjadi pendorong kuatnya narasi Rusia.

“Propaganda Kremlin telah dibeli Jerman bukanlah berita baru. Anti-amerikanisme di sayap kanan dan kiri, bersama dengan pasifisme yang tertanam dalam budaya politik Berlin, memberikan lahan subur bagi narasi Rusia,” tulis media tersebut.

Meskipun begitu, Jerman tidak sendirian dalam hal ini. Menurut data yang ditunjukkan, dukungan publik untuk pengiriman senjata ke Ukraina hanya sekitar 41 persen di Itali, berbeda dengan di Jerman dan Prancis yang secara berturut-turut berada di angka 57 persen dan 62 persen.

Data juga menunjukan bahwa 28 persen warga Yunani menyalahkan NATO atas konflik tersebut, begitu pula dengan warga Bulgaria sebanyak 44 persen. Meskipun tetap memberikan pasokan militernya ke Kyiv, skeptisisme juga masih berlaku di Slovakia, Bulgaria dan Hungaria.

Pada tanggal 29 Oktober 2022, rapat umum diadakan di Prague untuk menentang kebijakan pro-Uni Eropa yang mendukung Ukraina. Pada tanggal 5 November, puluhan ribu orang berada di Roma untuk menyerukan perdamaian dan menyuruh pemerintah untuk menghentikan pengiriman senjata ke Kyiv.

“Inilah apa yang Presiden Rusia, Vladimir Putin inginkan. Dengan memperpanjang perang, ia ingin memecah belah persatuan Barat,” tulis Dimitar Bechev, jurnalis Aljazeera.

Bechev mengatakan bahwa saat ini Rusia mencoba memberikan tekanan ekonomi pada Uni Eropa dengan memotong pasokan gas tepat sebelum musim dingin dimulai. Namun, salah satu faktor yang mampu mengubah arah perang ini bukanlah Jerman menurutnya, tetapi Amerika Serikat.

“Dukungan Amerika Serikat sangat penting dalam membantu Kyiv melawan agresi dan membebaskan setengah dari tanah yang diduduki Rusia pada awal invasinya,” ujarnya.Saat ini Amerika Serikat sedang berada di pertengahan pemilihan presiden. Menurutnya, kebijakan negara tersebut akan berubah dengan signifikan setelah pemilu itu selesai. (MIC/FAU)