ANDALPOST.COM – Media sosial sebagai hasil dari adanya perkembangan dunia digital dalam ranah komunikasi membuat kita semua dapat menikmati berbagai macam informasi dengan mudah dan cepat.
Seperti Instagram, Twitter, dan TikTok, kita dapat mendapatkan informasi mulai dari update mengenai selebriti, hingga berita yang sifatnya formal.
Banyak informasi yang dapat kita akses dari media sosial menandakan adanya percepatan informasi yang sangat tinggi.
TikTok Sebagai Contoh
Salah satu media sosial dengan kecepatan pengiriman informasi yang tinggi adalah TikTok.
Aplikasi ini menggunakan sistem algoritma yang kompleks, sengaja didesain untuk menyajikan konten, sesuai dengan ketertarikan masing-masing pengguna.
Istilah “for you page” bukanlah hanya sekadar istilah, tetapi justru menjadi deskripsi singkat mengenai bagaimana aplikasi asal negara China ini menciptakan algoritmanya.
Yang unik dari aplikasi ini adalah penyajian video disajikan dalam durasi yang pendek, mulai dari batas maksimal 15 detik, 60 detik, hingga 3 menit.
Konten yang muncul pada aplikasi TikTok juga sangatlah beragam. Sebaliknya, muncul atau tidak munculnya suatu konten spesifik di TikTok merupakan faktor dari algoritmanya yang sangat menyesuaikan ketertarikan para penggunanya.
Dari sini, dapat kita simpulkan, kemungkinan kita untuk memperoleh informasi dengan jumlah yang sangat banyak, pada durasi yang lebih cepat.
Hal ini mungkin terdengar baik, tetapi nyatanya malah memberikan kecenderungan efek yang negatif.
Dampak Penggunaan Sosial Media untuk Otak
Dokter ahli saraf dan dosen Stanford University, Dr. Andrew Huberman, dalam podcast Chris Williamson yang diunggah di YouTube, membicarakan tentang efek media sosial terhadap otak manusia.
Di awal percakapan, Huberman membahas perbedaan hormon dopamin dan serotonin.
“Dopamin itu berarti mengenai sesuatu hal yang baru, mengejutkan, dan memberikan rasa bahwa kita ada di tempat yang menyenangkan. Begitulah dopamin itu,” tuturnya.
“Dopamin menempatkan kita dalam keadaan di mana kita terus-terusan berpartisipasi, mencari-cari, dan mencoba mendapatkan sesuatu. Intinya, hampir selalu untuk hal-hal di luar batas kulit kita,” lanjut Huberman.
Berbeda dengan dopamin, justru serotonin membuat kita merasa puas. “Ketika kita memiliki hormon serotonin dalam tubuh, biasanya ini akan membuat kita merasa puas, dan kenyamanan untuk berada dalam atmosfer diri kita sendiri,” ungkap Huberman.
“(Contohnya) rasa nyaman dari makanan yang enak, makanan yang kita miliki, (sedangkan) dopamin itu justru hanya tentang go, go, go,” tambahnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.