Seorang Bayi di China Tewas karena Pembatasan COVID-19: Tuai Kecaman Publik

Seorang Bayi di China Tewas karena Pembatasan COVID-19 (Design by @salwadiatma)

ANDALPOST.COM – Seorang bayi di China meninggal dunia karena perawatan medis yang tertunda akibat pembatasan COVID-19. Kasus ini pun menuai kecaman besar di dunia maya.

Kemarahan kian memuncak setelah seorang ayah di Zhengzhou mengungkapkan paramedis menolak untuk melihat putrinya yang berusia 4 bulan dan sedang mengalami muntah serta diare.

Nahasnya, bayi tersebut menghembuskan napas terakhir sebelum mendapatkan penanganan medis.

Berita kematian bayi tersebut juga bersamaan dengan banyaknya laporan dari banyak orang untuk mengakses layanan kesehatan di bawah kebijakan nol-COVID-19 yang begitu ketat di China.

Lebih dari 20.000 kasus per hari, China mengalami gelombang besar virus untuk pertama kalinya dalam enam bulan terakhir.

Kota Zhengzhou di provinsi Henan tengah menjadi hotspot banyaknya kasus tersebut.

Beberapa outlet berita China melaporkan bagaimana Li Baoliang dan putrinya yang berusia empat bulan diisolasi di hotel karantina di kota pada 12 November lalu, setelah istri Li dinyatakan positif COVID-19. Dua hari kemudian, dia mengatakan putrinya menjadi tidak sehat dan kesulitan makan.

Li Baoliang pun berusaha memanggil ambulans tetapi paramedis meminta hotel melakukan tes antigen sebelum setuju untuk menemui mereka. Hal ini diungkap Li kepada China News Weekly.

Ketika putrinya dinyatakan negatif, dia mengatakan staf medis kemudian langsung menolak untuk melihat anak itu “dengan alasan dia tidak sakit parah”.

Saat gejalanya memburuk, dia memanggil ambulans kedua di malam hari. Namun, alih-alih membawa mereka ke rumah sakit di dekat hotel, mereka malah dibawa ke salah satu tempat di Kota Dengfeng yang berjarak hampir 100 kilometer (km) dari Zhengzhou.

Sesampai di sana, Li mengatakan suhu putrinya “turun tajam”, hingga akhirnya meninggal dunia.

“Ketika saya mendengar, berita itu seperti sambaran petir dan saya tidak bisa mengatasinya,” tulis Li di jejaring sosial China Sina Weibo.

Dia dan istrinya saat ini sedang diisolasi di Rumah Sakit Dengfeng, dan tubuh putri mereka masih berada di kamar mayat.

Komisi Kesehatan Kota Zhengzhou mengatakan tengah menyelidiki kasus tersebut.

Puluhan juta orang telah membaca cerita Li, dengan lebih dari 9.000 pengguna menanggapi laporan asli oleh China News Weekly. Namun tidak ada yang tersedia untuk dilihat karena telah disensor dan komentar juga telah dihapus dari postingan Li di Weibo.

Jadi pengguna telah berkomentar di jejaring sosial lainnya. Beberapa dari mereka mengkritik pemerintah China dalam memerangi virus COVID-19.

“Saya tidak menentang pencegahan epidemi, tetapi kita harus menjaga kelompok kunci,” kata seseorang.

“Berapa banyak kematian yang terjadi karena perawatan kesehatan yang tertunda?” seseorang bertanya. “Apakah kelompok rentan dilindungi?”

“Aku patah hati dan marah,” kata yang lain. “Tapi ada begitu banyak cerita seperti ini.”

“Bukan virus yang membunuh orang, tetapi tindakan pencegahan epidemi yang berlebihan,” tambah yang lain.

Jumlah kematian resmi China akibat COVID-19 tercatat 5.226, angka yang tidak berubah sejak Mei lalu. 

Namun ada kasus berulang mengenai perawatan darurat yang tertunda untuk orang sakit parah di area karantina COVID-19.

Awal bulan ini ada demonstrasi kemarahan di kota barat Lanzhou setelah seorang ayah mengatakan keterlambatan membawa putranya yang masih balita ke rumah sakit, dan hal itu telah menyebabkan kematiannya akibat keracunan karbon monoksida.

Pada bulan Oktober, ada laporan tentang seorang gadis berusia 14 tahun yang meninggal di Provinsi Henan setelah jatuh sakit di pusat karantina COVID-19.

Pekan lalu para pejabat di wilayah barat laut Xinjiang mulai menyelidiki apakah seorang pria meninggal karena lalai di fasilitas karantina. Pria tersebut memanggil ambulans dan tidak ada yang dikirim.

Awal pekan ini, ada laporan seorang wanita mengalami keguguran di kota barat daya Chongqing setelah pembatasan virus corona mengakibatkan penundaan pengobatan.

Sejak awal pandemi, China telah menekankan pentingnya mempertahankan “strategi nol-Covid yang dinamis”.

Pada dasarnya berarti mengisolasi orang, bahkan jika orang tersebut tidak menunjukkan gejala COVID-19 sedikitpun. (SPM/FAU)