ANDALPOST.COM – Ibukota Republik Indonesia Jakarta belakangan ini ramai disorot media asing terkait polusi udara yang semakin memburuk.
Yang dimana, Indonesia pada pekan lalu menduduki kota dengan udara paling tercemar di seluruh dunia.
Hal tersebut dikeluarkan oleh perusahaan teknologi yang mengemban di bidang kualitas udara asal Swedia bernama IQAir.
Pada bulan Mei 2023, Jakarta masih menduduki 10 besar kota paling berpolusi. Kemudian, situasi semakin diperburuk dengan kualitas udara Jakarta yang membuatnya menjadi puncak teratas dalam perhitungan global.
Hal tersebut tentunya menjadi hal yang sangat memprihatinkan bagi seluruh masyarakat yang berjumlah hampir 10 juta jiwa di kota tersebut.
Dimana, para masyarakat harus menghirup udara beracun selama berada di Jakarta yang membuat mereka rentan terkena penyakit pernapasan.
Hal tersebut pun dikaitkan dengan memburuknya kualitas udara Jakarta. Terdapat peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).
Peningkatan ISPA Jakarta
Dalam keterangan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, menjelaskan bahwa jumlah masyarakat yang terkena ISPA terus meningkat setiap bulannya.
Data tersebut diambil dari jangka waktu Januari hingga Juni 2023, dengan total 638 ribu kasus infeksi saluran pernapasan.
Akan tetapi, pihak Dinkes Menekankan bahwa peningkatan yang terjadi pada kasus ISPA di Jakarta bukanlah disebabkan oleh memburuknya kualitas udara atau polusi di Jakarta.
Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi, dan Imunisasi Dinkes DKI Jakarta, Ngabila Salama menjelaskan situasi ISPA di Jakarta.
“Hanya 0,9 persen warga DKI Jakarta terkena batuk pilek ISPA atau pneumonia setiap bulannya, rata-rata 100 ribu kasus dari 11 juta penduduk,” jelas Ngabila.
Ngabila menjelaskan bahwa pola yang terjadi masih tetap sama setiap tahunnya yang dimana, puncak akan terjadi di bulan September hingga Oktober.
Puncak pada September-Oktober itu juga dijelaskan oleh Ngabila akan mengalami penurunan hingga Maret pada tahun berikutnya.
Hal tersebut dikatakan oleh Ngabila terjadi karena perubahan cuaca dan bukan karena polusi udara yang memburuk di Jakarta.
“Iya benar (penyebabnya bukan polusi udara), lebih pengaruh ke iklim,” pungkas Ngabila.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.