ANDALPOST.COM – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai narasi penguatan pemberantasan korupsi yang digaungkan Presiden Jokowi tak pernah terbukti. ICW juga mengatakan Indonesia layak dan pantas dikategorikan sebagai negara korup.
Pernyataan tersebut disampaikan menanggapi Indeks Persepsi Korupsi tahun 2022 yang baru saja dirilis Transparency International Indonesia (TII).
Dalam indeks tersebut, Indonesia tercatat mengalami penurunan skor empat poin dari 38 menjadi 34. Peringkat Indonesia pun terjun bebas dari 96 ke posisi 110.
Menyoroti hal tersebut, ICW menjelaskan terdapat beberapa persoalan penyebab yang harus menjadi perhatian.
“Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini gencar memberantas korupsi politik justru dilemahkan oleh Presiden Joko Widodo melalui perubahan Undang-Undang (UU) KPK,” kata ICW dalam keterangan yang Andal Post terima, Rabu (1/2).
“Tidak cukup itu, Presiden juga membiarkan figur-figur bermasalah memimpin lembaga antirasuah. Sekalipun ada yang ditindak, misal, Juliari P Batubara dan Edhy Prabowo, penuntasan perkara itu masih menemui jalan buntu,” lanjutnya.
Diketahui sebelumnya, Pemerintah pada tanggal 17 Oktober 2019 lalu telah memberlakukan Undang-Undang No.19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang tersebut membawa sejumlah perubahan yang dinilai melemahkan agenda pemberantasan korupsi, salah satu di antaranya karena KPK tidak lagi menjadi lembaga negara independen melainkan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
Selain itu ICW menilai sikap Pemerintah melalui para menteri Kabinet Indonesia Maju yang cenderung permisif terhadap kejahatan korupsi telah menyumbang satu persoalan bagi pemberantasan korupsi di Tanah Air.
“Sebagai contoh, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut B Pandjaitan sempat berulang kali mengomentari mengenai Operasi Tangkap Tangan dengan kalimat destruktif, terang ICW.
“Momen lain diperlihatkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang meminta kepada aparat penegak hukum untuk tidak menindak kepala daerah, melainkan fokus pada pendampingan. Pernyataan-pernyataan semacam ini menunjukan sikap yang berseberangan dengan harapan atas perbaikan pemberantasan korupsi,” tambahnya.
ICW juga mengatakan bahwa undang-undang yang diundangkan dalam lima tahun terakhir, mulai dari KUHP, UU Pemasyarakatan, UU Cipta Kerja, UU Mahkamah Konstitusi, hingga UU Minerba telah semakin mendegradasi upaya pemberantasan korupsi.
“Segala yang diucapkan oleh pembentuk UU berkaitan dengan pemberantasan korupsi terbukti hanya ilusi, tanpa ada langkah konkret. Begitu pula Presiden, janji politik saat kampanye tahun 2014 maupun 2019 dilupakan begitu saja seiring dengan menguatnya lingkaran kepentingan politik,” ujar ICW.
Terakhir, ICW menilai Pemerintah dan DPR gagal menciptakan kepastian hukum untuk menjamin gelaran pesta demokrasi mengedepankan nilai-nilai integritas, lantaran UU Pemilu dan UU Pilkada masih memperbolehkan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri.
“Situasi terkini, terbukti pembentuk UU juga tidak merevisi UU Pemilu untuk klausula calon anggota DPD RI yang mana masih memperbolehkan mantan terpidana korupsi mendaftarkan diri,” pungkas ICW.
ICW mengatakan sikap Pemerintah dan DPR saat ini masih menginginkan mantan narapidana korupsi kembali mencalonkan diri. Bahkan dapat berkompetisi sekalipun sudah ada putusan MK yang melarangnya dengan skema pembatasan waktu jeda lima tahun, bertolak belakang dengan narasi Pemerintah yang kerap menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai pijakan utama. (lth/fau)