ANDALPOST.COM – Memasuki tahun politik, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengingatkan publik akan potensi praktik korupsi. Praktik koruptif dari sejumlah pihak tak kunjung dituntaskan oleh Pemerintah.
Salah satunya potensi politik uang mendekati masa kampanye dan pemungutan suara, lantaran belum adanya perluasan pembatasan subjek hukum bagi pelaku.
“Problematika yang tampak dalam UU Pemilu seperti pembatasan subjek hukum pelaku politik uang juga tidak diperluas oleh pembentuk regulasi. Selain itu, penegakan integritas pemilu melalui penyelenggara pemilu yang independen justru dinodai pemerintah karena proses seleksinya bermasalah,” terang Divisi Korupsi Politik ICW dalam keterangan yang Andal Post terima, Rabu (1/2).
ICW juga menyoroti potensi pendanaan partai politik dari aliran aktivitas kejahatan, mengingat beberapa hari lalu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap temuan transaksi sebesar Rp1 triliun dari kasus kejahatan keuangan terkait lingkungan hidup kepada anggota partai politik.
Selain itu ICW mengatakan praktik pembiaran oleh Presiden bagi anggota kabinetnya maju sebagai kontestan politik tanpa harus mengundurkan diri terlebih dahulu menyusul Putusan MK Nomor 68/PUU-XX/2022, berpotensi terhadap situasi konflik kepentingan.
“Ada potensi konflik kepentingan di sana, terutama pemisahan pekerjaan sebagai menteri dengan kepentingan politik untuk meraup suara masyarakat. Bukan tidak mungkin praktik penyalahgunaan kewenangan semakin marak terjadi dan faktanya Presiden membiarkannya,” lanjut ICW.
Menurut mereka, apabila konflik kepentingan disepakati sebagai salah satu pintu menuju korupsi, maka kebijakan di atas harus ditanggapi serius. Terlebih Pemerintah gencar menyampaikan akan lebih fokus pada aspek pencegahan dalam memberantas korupsi.
Pada saat itu, Presiden hanya menegaskan jajarannya untuk memprioritaskan tugas utama sebagai anggota kabinet, dan akan melakukan evaluasi jika yang bersangkutan kedapatan tidak dapat melakukan tugas dengan baik.
ICW juga menyoroti soal dipersempitnya partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, sekalipun regulasi mewajibkan Pemerintah menempatkan masukan masyarakat sebagai pertimbangan utama sebelum melahirkan kebijakan.
“Bahkan, MK menghasilkan gagasan meaningful participation yang ditujukan kepada pembentuk UU. Sayangnya, bukan diakomodir, partisipasi itu malah dijawab dengan kriminalisasi dan intimidasi dalam bentuk beragam oleh kelompok tertentu,” kata ICW.
Selain itu, ICW mengatakan Pemerintah dan DPR saat ini terbilang gagal menciptakan kepastian hukum untuk menjamin gelaran pesta demokrasi mengedepankan nilai-nilai integritas, karena UU Pemilu dan UU Pilkada masih memperbolehkan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.