Dilanjut dengan NPP (Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor) sebanyak 935 penindakan. Lalu TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) dan ACC sebanyak 782 penindakan.
“Kadang-kadang di kantor pos kami temukan, di bandara kami temukan, di pelabuhan juga dimungkinkan. Kita termasuk tadi barang kiriman itu, barang penumpang menjadi concern kita untuk kita jagain,” pungkas Askolani.
Sebagai informasi, dalam aturan Bea Cukai, hanya terdapat dua jenis barang yang dibawa dari luar negeri yaitu barang keperluan pribadi dan bukan keperluan pribadi.
Tentu saja barang jastip termasuk ke dalam bukan keperluan pribadi. Sebab barang jastip akan diperjual berikan kembali di dalam negeri.
Oleh karenanya, barang jastip seharusnya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebanyak 10%. Selain itu, barang jastip juga harus memperhitungkan bea masuk 105 dan pajak PPH sebesar 2%.
Upaya Pemberantasan Jastip Ilegal
Melihat maraknya berbagai modus jastip ilegal, Dirjen Bea dan Cukai tidak tinggal diam. Mereka kemudian menerbitkan program anti splitting melalui PMK-112/PMK.04/28.
Program ini merupakan sistem komputer pelayanan yang mengenali secara otomatis nama penerima barang yang mencoba memanfaatkan celah pembebasan bea masuk dan pajak impor barang.
Sejak tahun 2018, Ditjen Bea dan cukai telah mengantongi penerimaan sebesar Rp 28 miliar dari penerapan program anti-splitting barang impor.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi menjelaskan sejak adanya program anti-splitting diterapkan, sudah terdapat ribuan dokumen atau consingment notes (CN) yang terjaring.
Untuk tahun lalu saja, terdapat 72.592 CN yang berhasil dijaring dengan nilai Rp 4 miliar.
Ditjen Bea dan Cukai mengatakan, pihaknya akan terus memperkuat pengawasan barang-barang yang masuk dari luar negeri ke Indonesia. (wan/ads)