Sebagai seorang yang bermitra dengan Polri, seringkali Eva menemukan kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan melalui media sosial.
“Seperti halnya beberapa kasus belakangan ini ada pemerkosaan, pelecehan seksual oleh tujuh orang pada anak di bawah umur. Saya pakai Instagram, WhatsApp, TikTok juga untuk media mainstream untuk melakukan pressure pada kelompok tertentu berupa lembaga penegakan hukum agar mampu memproses kasus tersebut,” tegasnya.
Peran Media terhadap Opini Publik
Tsunami informasi media sosial akan membentuk opini publik. Misalnya saja, seorang perempuan yang suka mengunggah kegiatan malam di club akan dianggap negatif.
Padahal bisa saja hal itu adalah pekerjaan yang sehari-hari mereka lakukan. Sehingga mereka rentan menjadi korban pelecehan seksual. Disinilah peran media bisa menyibak realita yang ada.
“Sosial media bisa menjadi alat yang efektif dalam menyampaikan kritik dan amar makruf nahi mungkar dan mengingatkan penegak hukum. Adik-adik bisa melakukan itu agar kita dapat menebarkan kemanfaatan rahmatam lil alamin,” pungkas Eva.
Namun, saat ini rata-rata perempuan telah mulai memasuki fase kecenderungan dengan media sosial. Mereka kerap kali ber-statement tanpa riset terkait dampak terhadap personal maupun publik.
Jika sudah mencapai tahapan seperti ini, akan sangat rentan alami kekerasan dan tindak pelecehan seksual di media maupun di realita. (pam/ads)