ANDALPOST.COM – “Membeli itu Apresiasi” menjadi kata kunci perjalanan Sekar Kawung masuk sebagai mengakrabkan diri kepada para penenun. Cara ampuh ini membuat Chandra Prijosusilo sebagai founder Sekar Kawung diterima oleh para penenun.
Chandra Prijosusilo biasa disapa Chandra ini melihat biodiversitas tanaman di Indonesia sangat banyak. Ia lalu memetakan tanaman yang berada di sekitar masyarakat adat diolah menjadi kain yang dapat laku terjual di pasar.
“Awalnya Sekar kawung itu melihat bahwa kekayaan alam di Indonesia, khususnya tanam-tanaman atau biodiversitas tanaman itu kalau dimanfaatkan lestari dengan kearifan budaya lokal Indonesia dapat menghasilkan kesejahteraan ekonomi yang cukup, tapi untuk bisa sampai disana butuh proses,” tutur Chandra.
“Perjalanan dari tanaman kemudian diolah dengan kebudayaaan sampai ke pasar itu jauh dan yang terlibat banyak pihak. Jadi, diawal Sekar Kawung mencoba memahami kearifan lokal disana itu bagaimana terhadap tanam-tanamannya dan bagaimana prosesnya,” jelasnya.
Sekar Kawung merupakan yayasan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak pada pengembangan produk-produk hijau, terutama kain-kain tenun yang diproduksi oleh masyarakat adat sebagian wilayah Indonesia.
Sekar Kawung Melihat Potensi Warisan Budaya dalam Kain Tenun
Awalnya, Sekar Kawung melihat potensi kain tenun yang menjadi warisan budaya Masyarakat Adat Sumba masih memproduksi dengan pewarna alam. Menurut Candra hal ini sudah sangat jarang ditemukan di daerah lain.
“Sekar Kawung melihat di Sumba produksi kain tenun masih banyak, sebagian Sumba Timur untuk para penenunnya masih memakai pewarna alami cukup signifikan. Sebab, pewarna digunakan oleh para penenun saat ini sudah jarang memakai warna alami, tapi Sekar Kawung menemukannya di Sumba,” kata Chandra.
“Pewarna kain di sana ini sangat indah untuk dilihat, seperti warna merah yang mencorong, warna biru yang bagus itu, warna kuning, warna coklat, dan warna lainnya, itu semua masih menggunakan warna dari bahan alam,” sebutnya.
Ia menjelaskan bahwa pewarna dari bahan alam tersebut tidak kalah dengan pewarna dari buatan pabrik.
Meski sudah memakai warna dari bahan alam, Chandra melihat penenun di Sumba Timur masih menggunakan benang pabrik berasal dari kapas impor, bahkan ada juga benang kain terbuat dari benang sintetis sehingga ini harus diberdayakan tanaman kapas yang berada di Sumba Timur.
“Alangkah sayang kalau kain yang dibuat dengan art full tapi bahan dan warna kain dari bahan sintetis. Hal itu membuat harga kain menjadi turun,” sambung Chandra.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.