ANDALPOST.COM – Pembahasan mengenai pernikahan beda agama, dapat dikatakan sebagai salah satu hal yang cukup ramai diperbincangkan di masyarakat Indonesia .
Baru–baru ini, salah satu organisasi agama Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan suatu kebijakan mengenai peraturan larangan pernikahan beda agama.
Kebijakan ini diatur dalam Keputusan Nomor 4/MUNASVII/MUI/8/2005. Menyatakan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; dan perkawinan laki–laki muslim dengan wanita ahli ahlul kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
Kebijakan yang baru dikeluarkan ini, tentunya menarik perhatian masyarakat. Kebijakan ini sangat bertentangan dengan kebijakan atau hukum yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, salah satu dasar hukumnya (Pasal 16 ayat 1) menyatakan bahwa,
“Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama,
“Berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian.”
Kemudian dalam Pasal 23 ayat (2) Konvenan Internasional Hak–Hak Sipil dan Politik mengatakan bahwa
“Hak laki-laki dan perempuan dalam usia perkawinan untuk menikah dan membentuk keluarga harus diakui.”
Kebebasan Bersifat Tidak Mutlak adalah Konstitusi Dasar Indonesia
Perbedaan isi dari kedua kebijakan ini, tentunya menciptakan kebingungan bagi masyarakat Indonesia. Lantas, apakah pernikahan beda agama di Indonesia itu boleh atau tidak?
Berdasarkan hasil wawancara dengan Dr. Stamsudin Noor, ia menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang didasari oleh konstitusi (kesepakatan dasar).
Konstitusi yang mendasari hukum negara Indonesia juga mengatur tentang kebebasan yang bersifat tidak mutlak.
“Kita hidup di negara hukum, dan hukum kita didasari oleh semacam konstitusi. Konstitusi merupakan kesepakatan dasar bangsa ini. Dalam konstitusi juga diatur yang namanya kebebasan. Tetapi, kebebasannya bukan kebebasan mutlak. Kebebasan kita harus mempertimbangkan kebebasan orang lain”, ujar Dr. Syamsudin Noor.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.