ANDALPOST.COM — Memperingati satu tahun tragedi Kanjuruhan, para keluarga korban serta penyintas berkumpul di Stadion Kanjuruhan di Malang, Minggu (1/10/2023). Setidaknya lebih dari 400 orang terluka dalam insiden tersebut.
Mereka menyalakan lilin di stadion di tengah seruan baru untuk keadilan para korban. Sedangkan, acara doa dimulai pada hari Minggu pukul 12 siang dan berlanjut hingga larut malam.
Sekitar 300 orang pun melakukan perjalanan dengan konvoi dari pusat kota Malang ke Stadion Kanjuruhan.
Beberapa diantaranya masuk ke dalam Stadion untuk pertama kalinya sejak bencana tahun lalu ketika 135 orang tewas. Termasuk anak-anak berusia tiga tahun.
Disisi lain, Rini Hanifa tak sanggup memasuki tempat kematian putranya yang berusia 20 tahun, Agus Rian Syah Pratama Putra.
“Beberapa keluarga korban, termasuk saya, tidak tahan dan ada yang pingsan. Saya merasa seperti tidak bisa bernapas,” terang Rini.
Rasa ketidakadilan terlihat jelas ketika beberapa bagian stadion yang saat ini dalam proses pembangunan kembali sesuai spesifikasi FIFA dibakar. Lantas api berkobar di seluruh lapangan.
Namun bagi Rini, pengalaman berada di Kanjuruhan sungguh luar biasa.
“Saya hanya berdiri di luar gerbang 13 dan memikirkan bagaimana perasaan anak saya ketika dia kesulitan bernapas dan tidak bisa bernapas karena gas air mata.”
“Kami semua hanya membayangkan bagaimana anak-anak kami meninggal di sana, berteriak minta tolong karena paru-paru mereka terbakar,” bebernya.
Tragedi itu terjadi ketika polisi Indonesia menembakkan gas air mata ke tribun dan lapangan. Setelah pertandingan antara rival lokal Arema FC dan Persebaya Surabaya.
Polisi menduga telah terjadi penyerbuan lapangan oleh suporter Arema. Beberapa di antaranya turun ke lapangan setelah timnya kalah dari Persebaya untuk pertama kalinya dalam 23 tahun.
Suporter Persebaya pun tidak diizinkan menghadiri pertandingan tersebut. Sebab persaingan yang ketat antara kedua belah pihak dan kekhawatiran akan terjadinya kekerasan.
Gas Air Mata
Menurut laporan resmi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), polisi menembakkan sekitar 45 butir gas air mata di dalam stadion yang menyebabkan kematian para pendukung di tribun. Juga kerumunan di pintu keluar ketika para penggemar berusaha mati-matian untuk melarikan diri.
Di bawah aturan FIFA, federasi sepak bola internasional, penggunaan gas air mata dilarang di dalam stadion.
Usman Hamid, kepala kantor Amnesty International di Indonesia, mengatakan hingga saat ini, polisi Indonesia tampaknya belum mengkaji ulang penggunaan gas air mata terhadap warga sipil.
“Yang disayangkan, sejak tragedi Kanjuruhan, kasus penembakan gas air mata oleh petugas polisi terhadap warga sipil terus terjadi, seperti yang terjadi di Pulau Rempang pada 7 September,” katanya merujuk pada protes bulan lalu terhadap koalisi pimpinan Tiongkok.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.