ANDALPOST.COM – Salah satu isu mendasar, yang telah dibahas dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan adalah mengenai pendidikan kedokteran.
Sebagaimana, yang telah dipaparkan oleh Dirjen Tenaga Kesehatan, Kementerian Kesehatan, drg. Arianti Anaya MKM. Dalam, diskusi ‘Urgensi Pendidikan Terintegrasi untuk Pelayanan Kesehatan’ yang diadakan oleh Universitas Gadjah Mada.
“Dalam RUU baru, dibukakan peluang untuk Kementerian Kesehatan atau rumah sakit menjadi, bukan hanya tempat pendidikan, tetapi penyelenggaraan pendidikan,” papar Arianti, dikutip (08/04/2023).
Diketahui, Indonesia saat ini hanya memiliki sebanyak 51.949 dokter spesialis. Sementara, pemerintah memiliki target untuk rasio dokter spesialis dengan bandingan jumlah penduduk sebanyak 0,28/1000.
Untuk mencapai standar yang ideal, Indonesia masih membutuhkan tambahan 30.000 dokter spesialis.
Alhasil, Indonesia hanya memiliki 21 program studi yang menyelenggarakan studi dokter spesialis.
Termasuk, hanya jumlah lulusan sekitar 2.700 per tahun. Dengan ini, untuk dapat mencapai rasio ideal, Indonesia membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun.
Distribusi Dokter Spesialis
Masalah lain yang muncul di samping itu, menurut Arianti adalah pemerataan.
“Kalau kita lihat dari peta yang ada di Kementerian Kesehatan, memang kita bisa melihat bahwa 59 persen spesialis berada di Pulau Jawa,” katanya.
Di samping itu, pemerintah tidak dapat menerapkan kewajiban bagi spesialis untuk melakukan praktik di luar Jawa.
Hal itu disebabkan atas, aturan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKS) yang sedang digugat.
Sekarang ini, Peraturan Presiden yang disebut dengan Bakti kerja Dokter Spesialis tersebut sedang masih dalam proses penyusunan.
Maka itu, tidak ada aturan hukum yang dapat memaksa mereka untuk berpraktik di luar Jawa.
Lalu, meskipun jika didasarkan pada pilihan sukarela, Kemenkes mencatat hanya ada 20% dokter spesialis yang bersedia ke luar jawa.
Demikian, dengan kurangnya ketersediaan dokter spesialis, hingga kini masih ada 40% Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang belum memiliki tujuh jenis dokter spesialis dasar.
Di antara lain, spesialis penyakit dalam, kandungan, bedah, anak, anestesi, radiologi, dan patologi klinis.
Pemetaan Kebutuhan
Plt Dirjen Dikti, Riset, & Teknologi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Prof. Nizham mengatakan bahwa produksi dokter spesialis dapat diatasi dengan suatu rencana.
Yakni, sebuah skema yang dapat diciptakan untuk membentuk gotong-royong antara rumah sakit dan kampus, khususnya fakultas kedokteran.
“Di fakultas kedokteran banyak dokter, banyak spesialis. Di rumah sakit juga ada dosen pendidik,” tuturnya.
“Nah, ini berkolaborasi dan bersama-sama dengan jaringan rumah sakit di seluruh wilayah. Fakultas kedokteran juga tidak sendiri, dengan jaringan Fakultas Kedokteran yang ada di wilayah,” sambungnya.
Sebagai tambahan, Prof. Nizam merinci, bahwa konsep ini akan bertumpu pada kebutuhan setiap regional.
Alhasil, fakultas kedokteran dan rumah sakit di kawasan tertentu dapat bekerja sama. Di-awali, dengan memetakan kebutuhan spesialis hingga ke tingkat paling kecil seperti kecamatan.
Dengan skema kebutuhan yang telah dibuat, rumah sakit dan fakultas kedokteran menyusun program-program studi dokter spesialis tertentu sesuai keperluannya.
Tentunya, Nizam yakin bahwa pemenuhan kebutuhan dokter spesialis, khususnya yang lebih merata, akan lebih cepat dilakukan jika ada skema tersebut.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.