Pada tahun 2022 terjadi lonjakan harga minyak yang signifikan, yang kemudian diikuti dengan penurunan pada awal tahun ini, yang berdampak buruk pada profitabilitas perusahaan-perusahaan energi.
Namun, harga minyak mentah sekali lagi mulai naik setelah pengurangan produksi diberlakukan pada awal musim panas.
Pemotongan ini dilakukan oleh anggota OPEC+, yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia, karena kekhawatiran terhadap melemahnya permintaan global.
Rusia juga menuding adanya campur tangan Barat terhadap dinamika pasar. Khususnya mengacu pada pembatasan yang diberlakukan terhadap minyak Rusia setelah invasi Ukraina.
Pada gilirannya menyebabkan kenaikan harga bensin dan membebani konsumen di pompa bensin.
Setelah hasil keuangan mereka dirilis, Shell mengumumkan rencana untuk mengalokasikan $3,5 miliar untuk program pembelian kembali saham, dengan total $23 miliar dialokasikan untuk pengembalian pemegang saham pada tahun berjalan.
Langkah ini mendapat kritik dari kelompok advokasi lingkungan dan iklim.
Jonathan Noronha-Gant, mewakili Global Witness, menyatakan ketidaksetujuannya. Ia menyatakan bahwa pemegang saham Shell telah menjadi penerima manfaat dari ketidakstabilan global yang sedang berlangsung, termasuk situasi di Ukraina.
Ia berpendapat bahwa perusahaan harus memprioritaskan investasi pada energi ramah lingkungan dibandingkan melipatgandakan pembayaran pada minyak, gas, dan pemegang saham. (paa/ads)