Netty melanjutkan, kasus semacam itu tidak boleh berlalu begitu saja. Seharusnya pihak RS, lanjut Netty, segera menangani pasien hamil yang kritis.
“Kasus semacam ini tak boleh dianggap enteng dan berlalu begitu saja. Seharusnya RS segera menangani pasien hamil yang kritis, bukan malah ditolak yang membuat mereka harus mencari RS lainnya,” ujar Netty.
Kronologi Kurniasih ditolak RSUD Ciereng Subang
Diketahui bahwa Kurniasih awalnya sangat membutuhkan penanganan medis secara serius.
Hingga membuat sang suami, Juju Junaedi, membawanya ke ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Ciereng Subang.
Sesampainya di sana, kondisi Kurniasih malah makin memburuk dan alami kejang-kejang. Sehingga harus dirujuk ke ruangan PONEK, atau pelayanan gawat darurat bagi ibu melahirkan.
Sesampainya di sana, Juju malah ditolak karena tidak mendapat rujukan dari Puskesmas Tanjungsiang dan ruang PONEK kala itu sedang penuh.
Penolakan itu pun membuat keluarga melarikan Kurniasih ke rumah sakit lainnya. Sayang, nyawa Kurniasih tidak bisa terselamatkan dan meninggal di perjalanan.
Menanggapi hal tersebut, Netty sangat menyayangkan tidak adanya kebijakan prosedural saat terjadi kondisi darurat, bagi Kurniasih.
“Jika alasan penolakan tersebut benar, maka sangat memprihatinkan. Apakah tidak ada kebijaksanaan dalam prosedural administrasi saat kondisi darurat? Seharusnya setiap pasien dalam keadaan kritis, apalagi Ibu hamil yang akan melahirkan, harus segera ditangani,” pungkas Netty. (pam/ads)