Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

Tren Self Diagnosis Berbahaya, Rawan Terjangkit Bipolar

Illustrasi self diagnosis. (Sumber: alodoc)

ANDALPOST.COM – Self diagnosis atau mendiagnosa diri sendiri akhir-akhir ini ramai diperbincangkan. Tren self diagnosis menurut Kemenkes RI adalah cara seseorang mengenali penyakit yang sedang dialami melalui gejala-gejala yang dirasakan.

Prakteknya, self diagnosis menjadi rawan dilakukan karena diases oleh seseorang yang notabenenya tidak berpengalaman di dunia kesehatan atau edukasi soal bidang penyakit.

Self diagnosis sebenarnya cukup dibutuhkan dan penting untuk mengetahui guna membentengi diri dari penyakit kronis yang telat diobati.

Namun seiring berjalannya waktu, self diagnosis bukan menyoal penyakit fisik lagi, melainkan kejiwaan. Parahnya self diagnosis hampir menjadi tren dari era pandemi hingga saat ini.

Banyak Dilakukan di Media Sosial

Melalui penelusuran tim Andalpost, kegiatan mendiagnosis diri sendiri ini rentan dilakukan di dunia media sosial. Banyak dari mereka yang menganggap bahwa dirinya memiliki sesuatu atau ada sesuatu yang salah dalam dirinya.

Klaim tersebut atas dasar edukasi mereka sendiri dari pengalaman di dunia nyata dan referensi di dunia maya. Padahal setiap informasi yang didapatkan di dunia maya, belum tentu teruji dan tervalidasi oleh ahli di bidangnya.

Ini akan menjadi sangat berbahaya dan justru membuat Andalpeeps yang tadinya baik-baik saja malah menjadi cemas.

Misalnya saja, ada seorang wanita remaja yang menyukai musik cadas, warna gelap dan tidak suka keramaian. Kemudian saat self diagnosis, wanita ini terindikasi sebagai seorang psikopat olah tes kepribadian yang dilakukan secara online tanpa validasi ahli.

Jelas hal tersebut akan membuatnya jadi merasa cemas dan berusaha menolak hal-hal yang harusnya disukai. Seseorang yang awalnya baik-baik saja justru akan terganggu dengan paham keliru tersebut.

Parahnya lagi, bagi seseorang yang sebelumnya tidak paham akan hal tersebut kemudian jadi memvalidasi kondisinya yang seperti itu. Bisa jadi malah seseorang tersebut bertingkah menyesuaikan asesmen yang dilakukannya kepada diri sendiri.

Proses pencarian tentang kondisi yang dialami berdasarkan self diagnosis ini bahkan tidak hanya berhenti sampai disitu. Karena keingintahuan seseorang untuk mempelajari kondisinya, maka hal ini dapat berujung pada penyelidikan dan mengaplikasikannya di kehidupan.

Ini adalah contoh yang ekstrem dari penggambaran self diagnosis, namun hal tersebut sangat relevan jika melihat kondisi dan orang-orang yang berada di dunia maya.

Kerap kali self diagnosis ini menyerang usia peralihan menuju remaja dimana proses pencarian jati diri terjadi. Banyak dari anak usia 18-22 melakukan tes kepribadian yang ada di dalam beberapa platform internet.

Menyoroti hal ini, Andalpost mencoba mewawancarai salah satu psikolog muda dari Polewali Mandar sekaligus aktifis kesenian bernama Muhammad Fadly, M.Psi.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.