ANDALPOST.COM — Perusahaan-perusahaan asing telah mengalihkan investasinya serta kantor pusat mereka yang berada di Asia, untuk keluar dari China.
Hal ini dikarenakan adanya kepercayaan para pihak perusahaan yang menurun secara drastis terhadap kondisi kekuatan ekonomi China. Disusul dengan adanya perluasan undang-undang anti mata-mata, serta tantangan lainnya.
Pernyataan ini dilaporkan oleh sebuah kelompok bisnis pada Rabu (21/6/2023), yaitu European Union Chamber of Commerce atau Kamar Dagang Uni Eropa di China.
Dalam laporan ini, terdapat catatan yang menyatakan, bahwa meskipun upaya Partai Komunis memiliki kuasa untuk menghidupkan kembali minat pada ekonomi nomor dua di dunia setelah berakhirnya kontrol anti-virus, pesimisme mengenai China bagi para investor tetaplah bertumbuh.
Dari pernyataan yang diberikan, perusahaan memiliki kegelisahan akan kontrol keamanan. Serta perlindungan pemerintah terhadap saingan China mereka, dan kurangnya tindakan atas janji reformasi.
Tidak hanya itu, mereka juga terjepit oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi China, lengkap dengan adanya kenaikan biaya.
Presiden Kamar Dagang Uni Eropa, Jens Eskelund, menggambarkan seberapa besar investor dunia percaya dengan bisnisnya di China.
Menurutnya, kepercayaan bisnis di China adalah “hampir terendah yang pernah kami catat.
Eskelund juga mengatakan prediksinya, bahwa kondisi ini mungkin akan terus berlangsung selama bertahun-tahun.
“Tidak ada harapan bahwa lingkungan regulasi benar-benar akan membaik selama lima tahun ke depan,” ucapnya.
Sejauh ini, pemerintahan Presiden Xi Jinping tersebut berusaha untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang anjlok. Hingga sebesar 3% di tahun lalu.
Adanya keberhasilan ini merupakan upaya untuk kerap mendorong perusahaan asing agar berinvestasi dan menghadirkan teknologi.
Namun meskipun begitu, mereka tetap merasa tidak nyaman karena adanya aturan keamanan. Lalu pada akhirnya berencana untuk menciptakan pesaing bagi pemasok komputer global chips, pesawat jet komersial, dan teknologi lainnya.
Hal ini sering melibatkan subsidi dan hambatan pasar, yang menurut Washington dan Uni Eropa, merupakan bentuk pelanggaran komitmen perdagangan bebas Beijing.
Survei
Kamar Dagang Uni Eropa pun melakukan survei kepada 570 perusahaan. Kemudian hasilnya adalah sebanyak dua pertiga dari perusahaan tersebut mengalami tantangan berbisnis di China.
Dari pernyataan ini, mereka berpendapat bahwa berbisnis di China sekarang lebih sulit, naik dari kurang dari setengah sebelum pandemi.
Kemudian, tiga dari lima mengatakan lingkungan bisnis kini “lebih politis”, naik dari setengah tahun sebelumnya.
Juga terdapat beberapa perusahaan yang berada di ujung tanduk setelah digerebek oleh polisi. Misalkan dua kantor konsultan Bain & Co. dan Capvision, serta firma uji tuntas, Mintz Group.
Penggerebekan ini dilakukan tanpa penjelasan publik. Padahal, pihak berwenang mengatakan bahwa perusahaan wajib mematuhi hukum. Namun, tidak memberikan indikasi kemungkinan pelanggaran.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.