ANDALPOST.COM — Sejumlah sekolah di UNRWA di Jalur Gaza tengah dihantam oleh Israel dan mengakibatkan enam orang tewas, Jumat (27/10/2023).
Terlihat pakaian serta selimut masih tergantung di jendela dan balkon sekolah.
Sekolah-sekolah tersebut telah menjadi tempat perlindungan bagi ratusan ribu warga Palestina yang terlantar di Jalur Gaza.
Banyak dari mereka percaya bahwa penetapan gedung-gedung tersebut oleh PBB akan membuat kondisi lebih aman dari pemboman Israel yang terus-menerus.
Menurut UNRWA, lebih dari 613.000 dari 1,4 juta pengungsi internal di Gaza berlindung di 150 fasilitasnya di seluruh wilayah yang diblokade.
Namun kepadatan yang parah, kurangnya privasi dan sanitasi yang tidak memadai telah menempatkan sekolah-sekolah ini pada risiko krisis kesehatan masyarakat berkepanjangan.
Alhasil, menambah tekanan pada sistem layanan kesehatan yang sudah kelebihan beban.
Sehingga, dokter serta kementerian kesehatan menilai kondisi tersebut dapat membawa kehancuran total.
Terlebih dengan adanya pemboman terhadap sekolah di kamp pengungsi al-Maghazi. Di mana menyebabkan puluhan orang terluka justru menjadikan tempat ini tidak aman menjadi lokasi perlindungan bagi para pengungsi.
“Ini keterlaluan, dan sekali lagi menunjukkan pengabaian terhadap nyawa warga sipil,” kata Philippe Lazzarini, Komisaris Jenderal UNRWA.
“Tidak ada lagi tempat yang aman di Gaza, bahkan fasilitas UNRWA pun tidak,” imbuhnya.
“Setidaknya 4.000 orang telah mengungsi di sekolah UNRWA yang kini menjadi tempat penampungan. Mereka sudah dan masih tidak punya tempat lain untuk pergi,” terang dia.
Pengungsi di Sekolah
Pengungsi di sekolah-sekolah ini juga kekurangan akses terhadap kebutuhan hidup. Seperti air, listrik, makanan, susu, popok dan persediaan penting untuk kesehatan termasuk pembalut, desinfektan dan obat pereda nyeri.
Badan PBB tersebut mengatakan bahwa beberapa tempat penampungan saat ini menampung 10 hingga 12 kali lebih banyak orang daripada kapasitasnya.
Satu sekolah di Khan Younis menampung 21.000 orang. Noor dan keluarganya tinggal di sekolah lain di kota selatan, yang menampung sekitar 6.000 siswa, atau sekitar 1.100 keluarga.
Menurut pengelola tempat penampungan, lebih dari separuh penghuninya adalah laki-laki, yang tidur di luar di taman bermain. Sementara perempuan dan anak-anak tidur di ruang kelas.
“Setiap ruang kelas menampung sekitar 50 orang,” kata Noor, yang memilih untuk tidak menyebutkan nama belakangnya.
“Kadang listrik kami nyala dua jam, tergantung gensetnya. Sering kali juga terjadi kekurangan air.” beber Noor.
“Kami mencari perlindungan di sekolah-sekolah UNRWA dengan harapan menemukan keselamatan, namun kami mendapati diri kami berada dalam lingkungan yang rentan terhadap merebaknya penyakit dan krisis kesehatan yang akan datang serta terus-menerus diganggu oleh pemboman udara dan artileri Israel, siang dan malam,” jelasnya.
Pengungsi Palestina mulai berlindung di sekolah ini pada hari-hari awal pemboman Israel di Jalur Gaza. Setelah serangan mendadak pada tanggal 7 Oktober oleh Hamas terhadap Israel yang menewaskan 1.405 warga Israel.
Selama 20 hari terakhir, setidaknya 7.028 warga Palestina telah tewas dalam serangan gencar tersebut, sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.