ANDALPOST.COM – Presiden Jokowi menghadiri acara puncak peringatan Hari Pers Nasional 2023 di Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (9/2).
Sepanjang pidatonya, Jokowi mengungkap apa saja yang menurutnya menjadi persoalan dan tantangan pers nasional.
“Dulu, isu utama dunia pers adalah kebebasan pers. Tapi sekarang apakah isu utamanya tetap sama? Menurut saya sudah bergeser. Kurang bebas apa lagi kita sekarang ini?” ujarnya retoris.
Pernyataan tersebut ia sampaikan merujuk pada produksi dan praktik penyebarluasan berita zaman kiwari yang tidak hanya dilakukan perusahaan pers.
Dalam pidatonya Jokowi juga sempat dua kali mengatakan bahwa pers nasional saat ini sedang tidak baik-baik saja.
“Saya ulangi, dunia pers tidak sedang baik-baik saja,” seolah menegaskan.
Namun, sayangnya kondisi “tidak sedang baik-baik” yang dimaksud Jokowi lebih tertuju pada aspek bisnis dan keberlangsungan perusahaan pers hari ini.
Dua aspek tersebut memang menjadi persoalan penting. Namun, pers nasional juga bisa disebut sedang tidak baik-baik saja karena aksi kekerasan terhadap wartawan masih kerap terjadi.
Dalam pidatonya selama kurang lebih 10 menit, hal penting tersebut tidak dibahas sang Presiden. Jokowi luput menyinggung soal situasi keamanan wartawan di Indonesia.
“Memasuki tahun politik media massa harus tetap berpegang teguh pada idealisme, obyektif, dan tidak tergelincir polarisasi. Media massa harus mendorong pelaksanaan Pemilu 2024 berjalan jujur dan adil. Media massa harus tetap menjadi pilar demokrasi yang keempat,” pesan Jokowi.
Merujuk pada pesannya tersebut, perlindungan terhadap kerja jurnalistik para wartawan sejatinya harus pula menjadi perhatian.
Laporan Situasi Keamanan Jurnalis Indonesia 2022 yang dirilis Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) awal Januari seharusnya masuk dalam naskah pidato Jokowi.
Situasi keamanan wartawan tahun 2022
Dalam laporannya AJI mencatat 61 kasus serangan terhadap jurnalis sepanjang 2022. Angka tersebut mengalami kenaikan dari 43 kasus di tahun sebelumnya.
Dirinci, korban dari 61 serangan tersebut merupakan 97 orang wartawan, pekerja media, dan 14 organisasi media.
Dari sisi pelaku, AJI mencatat dalam 24 kasus melibatkan aktor negara yang terdiri dari polisi (15 kasus), aparat pemerintah (7 kasus) dan TNI (2 kasus).
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.