ANDALPOST.COM – Anak muda di Palestina kehilangan harapan lantaran proses politik yang gagal ditegakkan menyangkut dengan pemilihan umum.
Menurut laporan, warga sipil Palestina yang berusia di bawah 30 tahun tidak akan memiliki kesempatan untuk melaksanakan pemilihan umum. Hal ini diakibatkan dengan solusi dua-negara dari konflik Israel-Palestina.
Solusi yang telah ditetapkan tersebut ternyata banyak menuai kritik dari masyarakat Palestina yang merasa banyak dirugikan.
Salah satu warga sipil Palestina, Janna Tamimi yang berusia 17 tahun menyatakan tanggapannya akan solusi tersebut.
“Solusi dua negara itu sangat klise, buatan barat, tanpa melihat situasi sebenarnya,” ucap Janna. “Tapi dimana perbatasannya?” lanjutnya kepada awak media pada Selasa, (13/06/2023).
Ia juga mengungkapkan bahwa dirinya merupakan seorang jurnalis yang telah melaporkan segala tindakan militer Israel terhadap masyarakat Palestina.
“Aku telah melaporkan (militer Israel) dan segala serangan yang terjadi pada siang dan malam. Saya tidak mendokumentasikan semuanya, tapi saya telah mencoba yang terbaik. Agak sulit membagi waktu dengan sekolah dan lainnya. Tapi akan selalu ada cara untuk melakukannya (melakukan laporan),” kata Janna.
Ia juga mengatakan kesaksiannya bahwa, sejak dirinya lahir tidak ada satu pun pemilihan presiden di dalam teritori Palestina. Pilpres yang terakhir dilakukan pada tahun 2006, dimana semua orang berusia dibawah 34 tahun tidak pernah memiliki kesempatan untuk melakukan pemilihan.
Keterbatasan yang selalu dialami oleh masyarakat Palestina ini telah menciptakan runtuhnya kepercayaan pada kepemimpinan politik Palestina atas dukungan solusi dua negara. Masyarakat Palestina mulai menganggap bahwa solusi tersebut hanya ditetapkan oleh negara Barat yang membayangkan kemerdekaan Palestina bersama Israel. Namun pada kenyataannya hal tersebut malah merugikan salah satu pihak.
Survei Kependudukan
Runtuhnya kepercayaan masyarakat Palestina terhadap pemerintahannya telah menjadi penelitian di Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina yang berbasis di Tepi Barat.
Pusat penelitian tersebut telah melacak perubahan pandangan masyarakat Palestina selama lebih dari dua dekade yang dilakukan pada masyarakat berusia 18 hingga 19 tahun.
Survei ini menunjukkan hasil penelitian yang jelas dalam penurunan dukungan generasi muda Palestina terhadap otoritas Palestina yang telah konsisten mendukung solusi dua negara selama satu dekade terakhir.
“Saat ini, ketidakpuasan kaum muda sebagian besar didorong oleh kurangnya legitimasi yang mereka lihat dalam sistem politik. Jadi kita memiliki seorang presiden, yang selama 14 tahun terakhir memerintah tanpa legitimasi pemilu,” jelas Dr. Khalil Shikaki, seorang direktur Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina.
Ia kemudian melanjutkan, “Sistem politik kami sebagian besar otoriter. Sebagian besar adalah pertunjukkan satu orang. Secara teori, kami memiliki konstitusi, tetapi pada kenyataannya, kami tidak menjalankan konstitusi kami,” lanjutnya.
Pada saat yang sama, dukungan masyrakat Palestina terhadap konfrontasi bersenjata paling tinggi di antara anak berusia di bawah 30 tahun. Survei ini telah didukung oleh lebih dari 56% untuk kembalinya intifada atau pemberontakan melawan Israel.
Pada tahun lalu, kelompok militan baru banyak bermunculan di kota Nablus dan Jenin di bagian utara wilayah Tepi Barat untuk menantang legitimasi pasukan keamanan otoritas Palestina.
Serangan yang paling dikenal oleh masyarakat Palestina adalah serangan terhadap pasukan dan pemukim Israel yang dilakukan oleh pasukan Jenin Lions’ Den and Brigades.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.