ANDALPOST.COM – Amerika Serikat dan Papua Nugini telah menandatangani perjanjian kerja sama pertahanan bilateral yang baru pada Senin (22/5/2023) malam.
Hal itu merupakan sebuah langkah yang telah memicu kontroversi dan terjadi ketika Washington dan China berebut pengaruh di wilayah tersebut.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Perdana Menteri Papua Nugini (PNG) James Marape menandatangani pakta dan perjanjian keamanan maritim pada hari Senin selama kunjungan Blinken ke ibu kota Port Moresby.
Teks lanjutan dari perjanjian tidak dirilis oleh kedua belah pihak. Tetapi kerja sama pertahanan yang baru diharapkan dapat memperluas akses AS ke militer dan fasilitas lainnya di PNG.
Selain itu, perjanjian tersebut diharapkan juga bisa memperkuat hubungan keamanan Washington di Pasifik Selatan.
Wilayah itu PNG dianggap memiliki signifikansi strategis yang sangat besar. Kepulauan Pasifik, misalnya, adalah tempat pertempuran yang menentukan selama Perang Dunia Kedua.
Kawasan tersebut menjadi semakin penting bagi Washington demi meningkatkan hubungan dan kehadirannya di Asia. Ini dikarenakan Washington ingin menyeimbangkan aksi China dengan cepat memperluas kemampuan angkatan lautnya dalam beberapa tahun terakhir.
Kekhawatiran itu meningkat tahun lalu setelah Beijing menandatangani pakta keamanan dengan Kepulauan Solomon. Mereka mencoba untuk mendapatkan dukungan untuk perdagangan regional dan komunikasi keamanan dengan negara-negara Kepulauan Pasifik, namun gagal.
Kunjungan Blinken ke PNG terjadi setelah Presiden AS Joe Biden pekan lalu mempersingkat perjalanan Asia yang akan mencakup pemberhentian di Port Moresby dan Sydney, Australia, karena negosiasi batas utang yang sedang berlangsung di dalam negeri.
Kerja sama Militer AS dan PNG
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada hari Sabtu (20/5/2023), PNG membingkai perjanjiannya dengan AS sebagai peluang untuk memajukan infrastruktur dan kapasitas pertahanan nasionalnya pada saat meningkatnya masalah keamanan global.
“Papua Nugini tidak memiliki musuh, tetapi perlu dipersiapkan. Sengketa teritorial (segera), seperti dalam kasus Ukraina-Rusia,” tulis pernyataan itu.
“Perjanjian ini bukan tentang geopolitik tetapi lebih mengakui kebutuhan negara untuk membangun kemampuan pertahanannya karena sengketa perbatasan tidak dapat dihindari di masa depan,” katanya, seraya menambahkan bahwa hal itu tidak menghalangi pemerintah untuk “bekerja sama” dengan negara lain, termasuk China.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.