“Itu tindak pidana pencucian uang, jadi jangan berasumsi ‘wah Kementerian Keuangan korupsi Rp349 T, ndak. Ini transaksi mencurigakan dan itu banyak melibatkan dunia luar, orang yang banyak melibatkan sentuhan-sentuhan dengan mungkin orang Kementerian Keuangan,” ujarnya.
“Saya waktu sebut Rp300 T, sesudah diteliti lagi transaksi mencurigakan itu ya lebih dari itu, Rp349 T, (transaksi) mencurigakan,” ujar Mahfud.
Dugaan Pencucian Uang
Keyakinan Mahfud jika ini adalah tindak pencucian uang karena jumlah TPPU tidak lebih besar. Mengingat dalam kasus korupsi jika ditelusuri justru sebaliknya.
Oleh karena itu, saat ini pihaknya sedang menunggu hasil penyidikan PPATK dan Kemenkeu guna mendapat laporan pastinya.
“Nah, kita membuat undang-undang tindak pidana pencucian uang itu dalam rangka itu, mencari yang lebih besar dari korupsi. Karena itu sebenarnya lebih besar kalau diburu, bisa lebih besar dari pidana korupsi pokoknya,” ujar Mahfud.
“Ini bagian dari yang dilakukan oleh PPATK sesuai dengan tugas undang-undang, saya ketua komite, Bu Sri Mulyani anggota, Pak Airlangga Hartarto juga wakil dan seterusnya, semuanya berkewajiban melaksanakan ini,” tambahnya.
Memang tindakan pencucian berbeda dengan korupsi, tetapi justru malah menyulitkan pihak penyidik.
Karena harus mencari dan mengkalkulasi setiap transaksi yang ada. Mereka juga harus mengkalkulasi setiap kekayaan yang diperoleh terduga. Sehingga hal ini bakal memakan waktu lebih lama.
“Pencucian uang itu lebih bahaya, kalau saya korupsi menerima suap Rp 1 miliar, dipenjara selesai itu, gampang. Tapi bagaimana uang yang masuk ke istri saya? Itu mencurigakan, dilacak oleh PPATK.”
“Bagaimana perusahaan atas namanya itu tidak beroperasi, misalnya warung makan tidak beroperasi tapi omzetnya Rp 100 miliar, padahal tidak ada yang beli, tidak ada yang jaga juga, hanya ada nama,” ujarnya.
“Nah, itu yang disebut diduga, saya katakan sejak awal diduga, ini pencucian uang buka korupsi. Tapi pencucian uang dalam dugaan,” tambahnya. (pam/fau)