Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

BGSi sebagai Teknologi Baru Pembaca Informasi Genetik Manusia 

Ilustrasi Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi) | sumber Kemenkes

ANDALPOST.COM – Guna melakukan pencegahan dan pengobatan penyakit secara tepat dan akurat, maka dilakukan upaya untuk mendorong pemanfaatan data genomik (informasi genetik). Hal ini diwujudkan melalui Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi).

BGSi merupakan salah satu wujud dan bagian dari transformasi kesehatan pilar keenam yakni transformasi teknologi kesehatan. Melalui pemanfaatan informasi genomik, ini dapat membaca genetik manusia terhadap virus dan bakteri.

Upaya ini merupakan langkah yang pertama kali dilakukan sebagai inisiatif untuk meningkatkan kualitas hidup setiap orang dengan pembiayan kesehatan yang lebih efektif dan efisien. 

Diketahui, pemeriksaan genomik yang biasanya kita kenal selama masa pandemi Covid-19 adalah pemeriksaan Whole Genome Sequencing (WGS).

“Ini adalah teknologi terbaru yang dapat membaca informasi genetik manusia, sehingga kita bisa tahu pasti sakit apa, di mana sakitnya, siapa yang sakit. Dengan demikian pencegahan pengobatannya pun nanti akan cepat dan tepat,” kata Dirjen Rizka, melalui situs resmi Kemenkes dikutip pada Sabtu (24/6/2023). 

Rizka juga mengungkapkan, apabila suatu penyakit dideteksi secara dini, maka tentu hal ini dapat meminimalisir penularan kepada orang lain dan masyarakat.

Potret Direktur Jenderal Kemenkes Rizka Andalucia | sumber Tempo

Ia pun mengambil contoh pada penyakit TBC di Indonesia yang mengalami kenaikan pada setiap tahunnya. 

Kasus ini tercatat hingga per tahun 2022, sebanyak 824 ribu orang di Indonesia menderita TBC. Diperkirakan juga, sebanyak 93 ribu orang meninggal setiap tahunnya.

Menanggapi permasalahan kasus ini perlu dilakukan berbagai upaya dan langkah cepat dan tepat untuk mengatasinya. Mulai dari pencegahan, diagnosis, perawatan hingga pengobatan penyakit. 

“Kuman Tuberkulosis yang beredar di Indonesia ini mulai resisten terhadap antibiotik yang ada sehingga dokter perlu tahu, pasien ini cocoknya obat apa, kombinasi obatnya yang mana,” ujar Rizka.

“Kalau resisten obat, kan harus menumbuhkan kuman TBC di laboratorium, dan di Indonesia laboratorium yang bisa melakukan penumbuhan kuman itu sangat terbatas, tidak semua lab yang bisa, saat ini baru 12 Lab yang bisa,” lanjutnya.

Kendala Fasilitas dalam Penanganan Penyakit Pasien 

Dikatakan Dirjen Rizka, jumlah laboratorium yang terbatas menyebabkan pasien yang berobat menjadi harus meluangkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan perawatan. 

Umumnya, di beberapa wilayah tempat tinggal pasien tidak ada laboratorium. Sehingga pasien pun harus siap dikirim ke daerah lain untuk pengobatan.

Kemudian, muncul pemeriksaan WGS yang dirasa cukup membantu dalam mempersingkat waktu pasien yang harus berobat ke tempat lain. Sehingga pengobatan  pasien pun dapat diberikan lebih cepat.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.