ANDALPOST.COM – Sebuah laporan oleh saluran berita lokal China Yicai pada Minggu (11/6/2023) mengabarkan bahwa China sedang mengalami penurunan dalam pernikahan sepanjang sejarah yang tercatat pada tahun 2022.
Penurunan angka pernikahan diduga terjadi karena lockdown yang diterapkan di negara tersebut guna membatasi penularan COVID-19.
Hanya sebanyak 6,89 juta pasangan yang mendaftarkan pernikahan mereka ke administrasi negara, menurut data yang diunggah pada situs Kementrian Urusan Sipil. Angka itu menunjukkan penurunan sebanyak 800.000 dari tahun sebelumnya.
Turunnya pernikahan yang terjadi di China datang bersamaan dengan pemerintah yang sedang mencoba untuk mencegah merosotnya populasi dengan meningkatkan natalitas nasional.
Pada tahun 2022, populasi China turun untuk pertama kalinya dalam enam dekade. Penurunan tersebut diperkirakan akan menandai dimulainya periode panjang penurunan jumlah warganya dengan implikasi mendalam bagi ekonominya dan dunia.
Tingkat kelahiran China turun tahun lalu menjadi 6,77 kelahiran per 1.000 orang. Hal itu merupakan rekor terendah dari 7,52 pada 2021.
Ahli demografi memperingatkan China akan menjadi tua sebelum menjadi kaya. Pasalnya, tenaga kerjanya menyusut dan pemerintah daerah berhutang membelanjakan lebih banyak untuk populasi lansia mereka.
China memiliki program yang dibuatnya untuk meningkatkan jumlah natalitas negara. Mereka mengatakan bulan lalu bahwa mereka akan meluncurkan proyek percobaan di lebih dari 20 kota untuk menciptakan budaya pernikahan dan melahirkan “era baru”.
Beberapa provinsi juga memberikan perpanjangan cuti pernikahan berbayar kepada pengantin baru.
Kenapa tidak mau menikah?
Sebagian besar penurunan angka pernikahan adalah efek dari kebijakan selama puluhan tahun yang dirancang untuk membatasi pertumbuhan populasi China.
Sehingga, semakin sedikit orang muda di China yang tersedia untuk menikah, menurut pejabat dan sosiolog China.
Tapi, turunnya angka pernikahan juga merupakan akibat dari perubahan sikap terhadap pernikahan, terutama di kalangan wanita.
Beberapa di antaranya semakin kecewa dengan pernikahan tersebut karena perannya dalam mengakar ketidaksetaraan gender, kata para ahli.
Dalam kasus ekstrim, beberapa bahkan turun ke media sosial untuk menghina istri sebagai “keledai yang sudah menikah”.
Istilah itu bersifat menghina dan digunakan untuk menggambarkan wanita penurut yang mematuhi aturan patriarki dalam pernikahan, menurut Xiao Meili, salah satu suara yang memimpin gerakan feminis di China.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.