Selain itu, terdapat seorang eksekutif dari sebuah perusahaan Jepang yang juga ditangkap di Beijing pada bulan Maret lalu, karena dituduh melanggar hukum anti-spionase.
Di sisi lain, pihak pemerintah Jepang juga khawatir terkait revisi hukum anti-spionase yang dilihat ‘ambigu’, yang dapat menangkap warga negara Jepang di bawah hukum itu.
Pada bulan Mei lalu, sebuah perusahaan elektronik Jepang menerbitkan sebuah pengumuman untuk karyawannya terkait aktivitas-aktivitas yang dilakukan di China.
Pengumuman tersebut, memberitahukan agar karyawan tidak melakukan aktivitas-aktivitas seperti berfoto di sebuah kota China, dan lainnya.
Alhasil, penegakkan hukum anti-spionase ini masih dilaporkan belum jelas metodenya, dan apa yang dikategorikan sebagai pelanggaran atas hukum tersebut.
Untuk dampak pada ekonomi RRC sendiri, Presiden US-China Business Council, Craig Allen menyatakan bagaimana aktivitas yang dilihat sebagai spionase dapat berdampak buruk.
“Kepercayaan pada pasar China akan menderita, jika hukum tersebut sering digunakan. Dan, tanpa hubungan spesifik dan jelas terhadap aktivitas yang dikenal sebagai spionase,” ungkap Allen.
Demikian, berbagai pihak, termasuk perusahaan asing juga sedang mengamati terkait bagaimana revisi hukum anti-spionase itu ditegakkan. (adk/rge)