Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

Di Kamp Yordania, Pengungsi Suriah lebih Memilih Sekolah daripada Menikah

Gadis-gadis Suriah menghadiri kelas di dalam pusat pemuda di kamp pengungsi Zaatari dekat kota perbatasan Mafraq, Yordania, pada 18 Oktober. (GAMBAR: Thomson Reuters Foundation/Lin Taylor)

ANDALPOST.COM – Dalam kurun waktu satu dekade sejak kamp di Yordania yang bernama Zaatari dibuka, semakin banyak anak perempuan menentang pernikahan dini. Fenomena pernikahan dini serta hamil di usia remaja masih sangat mudah dijumpai di sana. 

Namun, baru-baru ini muncul beberapa gadis yang menentang tindakan pernikahan dini.

Para gadis yang mengungsi di Zaatari mengatakan bahwa teman sepantaran mereka telah menikah dan bahkan sudah memiliki bayi. 

Salah satu pengungsi bernama Fatima (14) telah bertunangan, tetapi ia berpikir dua kali untuk melanjutkan hubungan tersebut. 

Serupa dengan Fatima, Borouj (16) mengkonfrontasi temannya agar tidak menikah di usia dini. Borouj menganggap pernikahan merupakan tanggung jawab besar.

“Untungnya saya meyakinkan dia untuk memutuskan pertunangan dan membiarkannya kembali ke sekolah. Jadi dia kembali bersama saya di kelas,” ucap Borouj, dikutip dari Context.

“Pernikahan adalah tanggung jawab besar,” imbuhnya.

“Saya melihatnya di sekitar saya, wanita membesarkan anak-anak mereka, merawat keluarga mereka dan bekerja. Saya tidak ingin menjadi anak yang membesarkan anak,” ungkap Borouj.

Pengungsi Suriah

Sekitar 35 persen gadis pengungsi di Suriah yang tinggal di negara tetangga Yordania menikah muda sebelum mereka berusia 18 tahun.

Sehingga, tingkat pernikahan anak mengalami kenaikan di sana. Fakta ini berdasarkan pada data terbaru dari badan anak-anak UNICEF.

Bahkan, tingkat pernikahan dini di sana jauh lebih tinggi daripada di Suriah. Di mana badan amal Girls Not Brides memperkirakan sekitar 13 persen anak perempuan menikah sebelum berulang tahun ke-18.

“Tetapi sebagai pengungsi, banyak keluarga menikahkan anak perempuan mereka karena alasan keuangan atau untuk melindungi anak perempuan dari kekerasan seksual di kamp-kamp pengungsi,” jelas UNICEF, Rabu (9/11/2022).

“Ini seperti mekanisme perlindungan bagi anak perempuan. Agar mereka tidak terlibat dalam hubungan dan menimbulkan masalah,” kata Lama Alsaad, spesialis perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender yang bekerja dengan United Nations Population Fund (UNFPA).

Kendati begitu, sejak kamp Zaatari dibuka, semakin banyak perempuan pengungsi Suriah yang menentang tekanan masyarakat untuk menikah muda. Mereka justru lebih memilih bersekolah untuk mendapatkan ilmu agar lebih andal.

Hak Menolak Perempuan dan Yordania

Ketika jumlah orang di bumi mencapai 8 miliar, UNFPA telah memperingatkan “kemunduran yang mengkhawatirkan dari kemajuan hak-hak perempuan di banyak negara”. Dengan banyak perempuan masih menolak hak untuk membuat keputusan atas tubuh dan masa depan mereka.

Sejak UNFPA memulai operasinya di Zaatari pada pertengahan 2013. Dokter di sana, telah membantu melahirkan lebih dari 16.000 bayi di kamp, 7 persen diantaranya lahir dari ibu yang berusia di bawah 18 tahun.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.