Lalu, Arvind Narayanan, seorang ilmuwan komputer di Universitas Princeton. Sebelumnya, mengatakan kepada BBC bahwa skenario bencana seperti fiksi ilmiah tidak dapat dilakukan.
Pasalnya, menurut dia, “AI saat ini tidak cukup mampu untuk mewujudkan risiko ini. Akibatnya, ini mengalihkan perhatian dari bahaya AI jangka pendek.”
Lalu, Elizabeth Renieris, rekan peneliti senior di Oxford’s Institute for Ethics in AI, menyatakan keprihatinannya tentang risiko dalam waktu singkat pula.
Ia mengatakan, bahwa kemajuan dalam AI dapat “Memperbesar skala pengambilan keputusan otomatis yang bias, diskriminatif, eksklusif, atau tidak adil.”
“Sementara itu, keputusan juga tidak dapat dipahami dan tidak dapat disangkal,” tambah Renieris.
Hal ini, akan menyebabkan peningkatan misinformasi, mengikis kepercayaan publik, dan memperburuk ketidaksetaraan.
Terutama, bagi mereka yang berada di pihak yang kurang dalam kesenjangan digital.
Namun, Dan Hendrycks, direktur Pusat Keamanan Kecerdasan Buatan, berpendapat bahwa risiko di masa depan dan kekhawatiran saat ini “Tidak boleh dilihat secara antagonis.”
Menurutnya, mengatasi masalah saat ini dapat bermanfaat untuk mengelola banyak risiko di masa depan. (xin/adk)