Digambar Behera, ahli paru terkemuka di India, mengatakan masalah umum terkait gelombang panas meliputi dehidrasi, kelelahan, dan kehilangan elektrolit.
“Ada masalah lain seperti cedera pada ginjal,” terang Behera.
“Orang yang bekerja di luar ruangan harus mengambil langkah-langkah seperti cukup cairan dan elektrolit seperti glukosa, dan menghindari paparan sinar matahari langsung,” jelas dia.
Behera mengatakan selama gelombang panas, keadaan darurat rumah sakit terkait dengan serangan panas dan kelelahan meningkat. Terutama di antara mereka yang mengalami kondisi kronis dan paling rentan.
Kesusahan
Mamta, ibu dua anak, mengatakan kesulitannya disebabkan oleh fakta bahwa sang suami tidak dapat bekerja dalam cuaca panas lantaran masalah kesehatan.
“Saya tidak bisa bolos kerja, bekerja di bawah panas seperti siksaan, tapi tidak peduli seberapa panasnya, saya harus keluar,” ujar Mamta.
Berasal dari negara bagian utara Uttar Pradesh, Mamta mengatakan ia pindah ke New Delhi untuk mencari upah yang lebih baik.
Kini, ia menghasilkan Rp89 ribu per hari.
Warga Delhi lainnya, Mohammad Salim Khan, yang bekerja 13 jam sehari sebagai tukang las, juga mengatakan ia tidak punya pilihan selain terus bekerja keras di tengah panas yang mematikan.
“Mau panas atau dingin, saya tidak punya pilihan untuk tinggal di rumah,” kata ayah tiga anak yang berpenghasilan Rp74 ribu per hari.
Khan mengungkapkan, saat bekerja di luar ruangan adalah pekerjaan yang membosankan. Namun, di rumah juga tidak banyak hal yang menyenangkan.
“Kami memiliki pendingin udara di rumah tetapi tidak berfungsi dengan baik selama kelembapan tinggi. Malam-malam sulit dan tidur adalah perjuangan,” tambahnya, mengingat rumahnya tidak memiliki AC.
Tukang las itu tinggal di apartemen satu kamar tidur kumuh di Seelampur. Sebuah daerah berpenghasilan rendah dengan gedung-gedung sempit di distrik Shahdara timur laut Delhi.
“Hanya orang miskin yang paling banyak dihukum dalam kondisi cuaca ekstrem seperti itu,” ujarnya. (spm/ads)