Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

India Kembali Direkomendasikan untuk Masuk Daftar Hitam Kebebasan Beragama

Ilustrasi warga muslim India. (Foto: AFP)

ANDALPOST.COM – Selama empat tahun berturut-turut sebuah komisi independen di Amerika Serikat (AS) merekomendasikan agar India yang dipimpin oleh Perdana Menteri (PM) Narendra Modi ditambahkan ke daftar hitam kebebasan beragama.

Pasalnya, kondisi negara tersebut khususnya untuk agama minoritas kian memburuk sepanjang tahun 2022 lalu.

Dalam laporan tahunannya pada Senin (1/5/2023), Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF) kembali meminta Departemen Luar Negeri AS untuk menunjuk India sebagai negara dengan perhatian khusus.

Panel independen telah mengajukan banding untuk penunjukan tersebut sejak 2020 lalu.

Label itu menuduh pemerintah melakukan pelanggaran sistematis, berkelanjutan, dan mengerikan terhadap kebebasan beragama dan membuka pintu bagi sanksi ekonomi.

USCIRF juga menyebut  pemerintah India di tingkat nasional, negara bagian, dan lokal mempromosikan serta menegakkan kebijakan diskriminatif agama pada tahun 2022.

“Termasuk undang-undang (UU) menargetkan konversi agama, hubungan antaragama, pemakaian jilbab dan penyembelihan sapi, yang berdampak negatif terhadap umat Islam, Kristen, Sikh, Dalit dan Adivasis (masyarakat adat dan suku terjadwal),” terang USCIRF.

Laporan tersebut mencatat bahwa sekitar 14 persen dari 1,4 miliar penduduk India adalah Muslim. Sekitar 2 persen Kristen, dan 1,7 persen Sikh. Hampir 80 persen dari negara adalah Hindu.

Lebih lanjut, badan tersebut menegaskan bahwa pemerintah India, yang dipimpin oleh Partai Bharatiya Janata (BJP) Modi terus menekan suara-suara kritis, terutama agama minoritas dan mengadvokasi atas nama mereka.

Kendati begitu, panel AS hanya menawarkan rekomendasi dan tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan kebijakan.

Ada sedikit harapan bahwa Departemen Luar Negeri akan mengadopsi posisi komisi tersebut, karena Washington dan New Dehli terus memperkuat hubungan mereka dalam upaya melawan pengaruh China di kawasan Indo-Pasifik.

Dalam laporannya, pengawas kebebasan beragama mencatat pemerintahan Presiden AS Joe Biden gagal menetapkan India sebagai negara yang menjadi perhatian khusus.

“Amerika Serikat dan India terus mempertahankan hubungan bilateral yang kuat seputar perdagangan ekonomi dan teknologi. Perdagangan mencapai Rp1 kuadraliun pada tahun 2022, menjadikan Amerika Serikat sebagai mitra dagang terbesar India,” kata badan tersebut.

“Presiden Biden dan Perdana Menteri Narendra Modi berinteraksi dalam beberapa kesempatan. Termasuk KTT G20 dan G7 serta KTT Empat Pemimpin,” tambahnya.

Di sisi lain, juru bicara kementerian luar negeri New Delhi Arindam Bagchi menuduh pejabat senior AS membuat rekomendasi yang bias.

“Sebagai masyarakat pluralistik alami, India menghargai kebebasan beragama dan hak asasi manusia,” kata Bagchi dalam sebuah pernyataan.

Sementara itu, Dewan Muslim Amerika India (IAMC) mendukung rekomendasi yang dikeluarkan USCIRF.

“IAMC menyambut baik keputusan USCIRF untuk merekomendasikan India sebagai Negara Perhatian Khusus (CPC) atas pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan beragama selama empat tahun berturut-turut. CPC adalah sebutan yang diperuntukkan bagi pelanggar kebebasan beragama terburuk di dunia,” tulis IAMC, Senin (1/5).

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.