ANDALPOST.COM – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan tingginya kasus korupsi bukan karena indikasi penegakan hukum yang rendah. Ia berkomentar tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2022 yang memburuk.
Mahfud mengakui bahwa penurunan skor IPK Indonesia 2022 merupakan yang paling drastis sepanjang sejarah reformasi. Sejalan dengan itu, pengukuran Transparency International Indonesia (TII) yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan IPK Indonesia 2022 mengalami penurunan.
Data tersebut menuliskan penurunan skor IPK Indonesia 2022 dari 38 menjadi 34. Peringkat Indonesia pun terjun dari 96 ke posisi 110.
“Berarti kan di Indonesia ada banyak korupsi. Setelah dibaca indeks tersebut, letak korupsinya (ternyata) di proses perijinan, birokrasi,” kata Mahfud dalam kunjungan ke Sumenep, Kamis (2/2).
Untuk itu Mahfud mengingatkan agar berhati-hati dalam proses perijinan maupun proses nego proyek. Ia menilai kondisi tersebut memiliki celah korupsi.
Kemudian sebagai mantan ketua Mahkamah Konstitusi RI, Mahfud juga menyoroti hasil penelitian tentang kasus korupsi di Indonesia terkait kekhawatiran tentang tidak adanya kepastian hukum.
“Transaksi ketika sudah masuk bill, tiba-tiba batal. Sudah selesai di Kemenperin, tiba-tiba bilang Dinas Agraria salah. Terus gitu nggak ada kepastian,” katanya mencontohkan.
“Itu kenapa Pemerintah membuat Omnibus Law. Maksudnya untuk mengatasi hal-hal seperti terlalu banyak pintu (birokrasi) sehingga tidak efisien. Investor tidak mau masuk kalau seperti itu,” lanjutnya.
Lain pendapat, TII menilai berbagai program pemberantasan korupsi Pemerintah tidak efektif. Memburuknya IPK Indonesia 2022 menunjukkan UU Cipta Kerja yang disebut sebagai strategi besar pemberantasan korupsi melalui jalur pencegahan tidak berjalan.
Mahfud MD: Masyarakat Diminta untuk Aware dengan Keadilan Pengadilan Hukum
Selanjutnya Mahfud pun meminta masyarakat untuk melihat aspek keadilan pengadilan hukum dalam IPK Indonesia 2022 yang mengalami kenaikan persepsi. Menurutnya, tingginya kasus korupsi tidak serta merta mengindikasikan rendahnya penegakan hukum.
“Kalau dirinci lagi indeks dari TII, kalau dibaca, aspek keadilan pengadilan hukum naik. Kenapa? Karena kita tangkap-tangkapi koruptor itu. Korupsi banyak penegakannya jalan juga. Koruptor kita bawa ke pengadilan semua,” tuturnya.
Menurut Mahfud, operasi Tangkap Tangan banyak. Itu menyebabkan persepsi atas penegakan hukum naik (meski) korupsinya masih banyak.
“Sehingga jangan disamakan peningkatan korupsi dengan peningkatan penegakan hukum. Itu beda. Tidak bisa dikatakan kalau korupsi (masih) banyak, penegakan hukumnya rendah,” imbuhnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.