Poin RUU Kesehatan yang Ditolak oleh IDI
Beni Satria sebagai Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BPH2A) IDI, memberikan rincian alasan penolakan RUU Kesehatan oleh organisasi profesi.
Setelah mempelajari draf RUU, pihak Beni menemukan ada beberapa poin mengapa RUU Kesehatan ini harus ditolak. Poin-poin tersebut adalah:
- Draf yang dipelajari oleh IDI dan kaji, terkait pelayanan kesehatan justru malah menghilangkan unsur-unsur lex specialis di dalam Undang-Undang Profesi.
- Terdapat penghapusan anggaran yang sudah ditetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Jadi, pemerintah memberikan usulan supaya anggaran 10 persen yang ditetapkan dari APBD dan APBN dihapuskan.
“Itu tentu kami tolak, kenapa? Karena masyarakat pasti terabaikan di sini. Alokasi 10 persen saja tidak terserap secara maksimal, apalagi kalau itu dihapuskan. Ini menjadi persoalan khusus,” jelas Beni.
- Seluruh UU yang mengatur dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan, rumah sakit dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ia menilai bahwa pencabutan ini mengganggu perlindungan dan hak masyarakat.
- Pemerintah hapus satu-satunya unsur organisasi profesi. Padahal, kata Beni, organisasi profesi bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat dan sudah diatur dalam UU.
“Undang-undang profesi itu hak wajib satu untuk memberi perlindungan kepada masyarakat. Jangan sampai ada double standard, dobel profesi yang kemudian menimbulkan kegaduhan dan masyarakat tidak mendapatkan haknya,” jelasnya.
Pengaturan Aborsi
- Terkait pasal aborsi, tadinya diatur maksimal 8 minggu. Dalam RUU ini, aborsi dibolehkan hingga 14 minggu di mana janin sudah terbentuk. Ini dinilai bukan lagi kategori aborsi melainkan pembunuhan janin.
- Terkait legalisasi tembakau dan alkohol, IDI khawatir kedepannya akan banyak masyarakat yang tidak akan terlindungi dari sisi kesehatan.
- Ada pasal yang mengkriminalisasi tenaga kesehatan. Pada RUU ini, ada banyak pasal pemidanaan tenaga kesehatan.
“Hubungan dokter dan tenaga kesehatan dengan masyarakat adalah hubungan keperdataan kesehatan. Maksudnya adalah upaya maksimal, tidak boleh menjanjikan hasil. Pasien yang datang ke dokter maka dokter sesuai sumpahnya akan mengobati secara maksimal supaya mencapai kesembuhan,” ucap Beni.
“Tapi yang terjadi adalah perbedaan, kalau terjadi sengketa atau permasalahan tentu diarahkan pada penyelidikan dan pemidanaan. Nah kalau ini terjadi maka akan penuh penjara yang isinya tenaga kesehatan. Karena untuk membuktikan adanya unsur kelalaian tidak bisa menggunakan azas pidana umum yang diatur dalam KUHP,” lanjutnya. (ala/ads).