“Mereka (calon Bawaslu) melaporkannya ke tim seleksi, lalu ke teman-teman aktivis perempuan di provinsi itu, dan kemudian melakukan pengaduan ke Komnas Perempuan,” kata Veryanto.
“Dengan harapan, Komnas Perempuan bisa menyampaikan agar metode ini tidak dilakukan lagi,” sambungnya.
Alhasil, kejadian ini tidak hanya terjadi di Provinsi Aceh saja sebagai contoh, tetapi juga terjadi di tempat lainnya, yang ia cari tahu melalui pihaknya.
“Ini terjadi di Provinsi Aceh. Tetapi kemudian secara informal, saya juga mencari informasi tempat lain dan ternyata terjadi juga di daerah lain,” ucap Veryanto.
Harapan Komnas Perempuan untuk KPU dan Bawaslu
Dengan kejadian ini, Veryanto juga menyampaikan harapannya, khususnya kepada KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu untuk tidak mengambil pihak satu gender.
Ditambah pula, percaya kalau kedua KPU dan Bawaslu ini dapat memahami betapa penting dan besarnya peran perempuan pada pemilu nanti.
“Kami berharap bahwa penyelenggara KPU dan Bawaslu, lebih menggunakan sensitive gender di dalam proses rekrutmen,” imbuh Veryanto.
“Kami optimis KPU dan Bawaslu memahami dan mengerti pentingnya kepemimpinan perempuan untuk diperjuangkan. Dari situ, mereka (perempuan) dapat mengganti regulasi yang mereka buat dan akan berdampak ke kepentingan perempuan,” tambahnya.
(ala/adk)