Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

Korea Utara Kembali Gagal Luncurkan Satelit Pengintai dan Bakal Coba Peluncuran Lain di Bulan Oktober

Korea Utara Kembali Gagal Luncurkan Satelit Pengintainya
Media Korea Selatan memberitakan tentang Kegagalan Mendarat Satelit Pengintai Korea Utara. (Sumber: CNBC)

ANDALPOST.COM – Negara militer komunis Korea Utara kembali meluncurkan satelit mata-mata ke orbit beberapa waktu lalu. Namun, pada Kamis (24/8/2023), Korea Utara melaporkan bahwa satelit tersebut gagal mendarat dikarenakan adanya kesalahan fungsi pada roket tahap ketiga. Kegagalan tersebut diumumkan oleh Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) yang dikelola pemerintah pada Kamis pagi WIB. 

Kegagalan ini merupakan peluncuran kedua yang gagal. Sebelumnya peluncuran satelit pengintai Korea Utara juga sudah gagal pada bulan Mei lalu. Saat itu, roket kendaraan satelit baru Chollima-1 jatuh ke laut segera setelah lepas landas. 

Usaha yang tidak putus

Korea Utara Kembali Gagal Luncurkan Satelit Pengintainya
Bagian yang diduga kuat berasal dari satelit Korea Utara. (Sumber: News Sky)

Meski telah mengalami dua kali kegagalan, pihak Korea Utara belum juga menyerah untuk berhenti merilis satelit pengintainya. Dalam dua bulan kedepan, kabarnya Pyongyang akan mencoba peluncuran lainnya pada bulan Oktober mendatang. 

Peluncuran terbaru pada Kamis dini hari “gagal karena kesalahan dalam sistem peledakan darurat selama penerbangan tahap ketiga,” kata laporan itu. 

“Roket itu pecah menjadi beberapa bagian sebelum jatuh ke Laut Kuning, Laut Cina Timur, dan Samudra Pasifik pada Kamis dini hari”, kata Wakil Menteri Pertahanan Parlemen Jepang Kimi Onoda. 

Saudara serumpunnya, Korea Selatan bergerak cepat ke daerah yang ditengarai menjadi lokasi jatuhnya puing-puing roket tersebut. Menurut puing yang berhasil didapatkan oleh Korea Selatan, militer negara tersebut mengatakan bahwa desain satelit terbaru tersebut terlalu sederhana untuk memenuhi fungsinya. 

Parahnya lagi, Korea Selatan mengatakan bahwa walaupun satelit tersebut berhasil mendarat, fungsinya tidak akan berjalan maksimal karena fitur dari roket tersebut sangat minim. 

Jepang dan Korea Selatan merasa terancam

Dengan tidak adanya perasaan bersalah, Korea Utara dengan percaya dirinya mengakui bahwa satelit tersebut sengaja didesain untuk menjadi pengintai. Hal tersebut mendorong kekhawatiran untuk negara yang berada di sekitar Korea Utara seperti Jepang dan Korea Selatan. 

Sesaat setelah satelit tersebut diluncurkan, Jepang mengeluarkan seruan darurat bagi penduduk di wilayah selatan Okinawa untuk mengungsi. Namun, saat berita ini diturunkan himbauan tersebut telah dicabut oleh pihak pemerintah Jepang. 

Sejak awal peluncuran satelit tersebut, Korea Utara sebenarnya telah menghimbau Jepang. Negeri Matahari Terbit tersebut mengatakan telah menerima email dari Pemerintah Korea Utara pada Selasa (22/8/2023). 

Dalam email tersebut, Korea Utara mengumumkan akan meluncurkan satelit ke arah Laut Kuning dan Laut Cina Timur antara tanggal 24 dan 31 Agustus di wilayah yang berada di luar Zona Ekonomi Eksklusif Jepang.

Setelah email tersebut, Penjaga Pantai Jepang mengeluarkan peringatan navigasi untuk area ini dan meminta kapal untuk mewaspadai benda yang jatuh. 

Tak heran jika Jepang dan Korea Selatan sama-sama mengutuk peluncuran tersebut. 

Dalam konferensi pers hari yang sama, Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Hirokazu Matsuno mengatakan Jepang “sangat memprotes” peluncuran terbaru Korea Utara dan “mengutuknya dengan keras,” seraya menambahkan bahwa peluncuran tersebut menggunakan teknologi rudal balistik.

Matsuno menyebut peluncuran tersebut sebagai “masalah serius yang melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB yang melarang peluncuran apa pun yang menggunakan teknologi rudal balistik oleh Korea Utara.”

Dia mengatakan pemerintah Jepang telah mengadakan pertemuan darurat dan sedang mengumpulkan serta menganalisis rincian peluncuran tersebut, yang akan dibagikan kepada publik segera setelah tersedia. 

Dewan Keamanan Nasional (NSC) Korea Selatan juga mengecam peluncuran tersebut, yang dikatakan sebagai “pelanggaran serius terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB.” (paa/fau)