Hal sejalan juga menjadi alasan MK menolak gugatan dari advokat asal Madiun tersebut. MK menegaskan, bahwa KTP dan SIM sebagai sesama dokumen yang memuat mengenai identitas memiliki fungsi yang berbeda.
KTP adalah dokumen kependudukan yang wajib dimiliki penduduk. Sedangkan SIM tidak wajib karena hanya diperuntukkan buat pengendara.
Oleh karena perbedaan tersebut, KTP berlaku seumur hidup karena tidak memerlukan evaluasi terhadap kompetensi pemilik KTP.
“Berbeda halnya dengan SIM, dalam penggunaannya SIM sangat dipengaruhi oleh kondisi dan kompetensi seseorang yang berkaitan erat dengan keselamatan dalam berlalu lintas sehingga diperlukan proses evaluasi dalam penerbitannya,” kata hakim Enny Nurbaningsih saat membaca pertimbangan putusan.
Perubahan tersebut, menurut Mahkamah, dapat terjadi pada kemampuan penglihatan, pendengaran, fungsi gerak. Lalu kemampuan kognitif, psikomotorik, dan/atau kepribadian pemegang SIM yang semuanya akan berdampak pada kemampuan pengemudi berlalu lintas.
Perpanjangan SIM dalam rentang waktu lima tahun dianggap fungsional mendukung kepentingan aparat penegak hukum. Terutama dalam melakukan penelusuran keberadaan pemegang SIM dan keluarganya jika terjadi kecelakaan lalu lintas atau terlibat tindak pidana lalu lintas.
Oleh karena itu, dalil permohonan Arifin dianggap tak beralasan menurut hukum. MK pun menegaskan bahwa Pasal 85 ayat (2) UU LLAJ tidak melanggar konstitusi. (paa/ads)