“Oleh karena itu, periodisasi tersebut bukan menjadi arogansi kepala desa namun menjawab kebutuhan untuk menyelesaikan ketegangan pasca pemilihan kepala desa (pilkades),” ujar Abdul Halim lagi.
Alasan secara konkrit terkait situasi diambil kebijakan penambahan masa jabatan tidak dijelaskan secara detail baik pengaruhnya soal lalu lintas birokrasi pemerintah maupun sinergitas program.
Namun Halim beberapa kali hanya mengatakan soal isu polarisasi pasca terjadinya pilkades. Menurut temuannya bahwa terjadi konflik berkepanjangan setelah pilkades yang menghambat program Kades terpilih.
Enam Tahun Dianggap Singkat
Jadi rentan waktu enam tahun dirasa terlalu singkat untuk memaksimalkan berjalannya program pembangunan Desa.
“Artinya apa yang dirasakan kepala desa sudah saya rasakan bahkan sebelum saya jadi Ketua DPRD. Saya mengikuti tahapan politik di pilkades. Saya mencermati bagaimana kampanye yang waktu itu,” katanya.
Memang dinamika di pedesaan dan kota sangatlah berbeda. Namun jika alasan memperpanjang masa jabatan desa berdasarkan masalah tersebut hanya akan membuat kebijakan yang prematur.
Dimana nantinya bukan menjadi justru menjadi boomerang kepada instansi terkait. Mengingat tidak semua masyarakat menyetujui kebijakan ini.
Lebih parahnya, ada isu terbaru yang ramai diperbincangkan baru-baru ini di media sosial yang menyebutkan bahwa Demo 15.000 Kepala Desa di Gedung DPR-RI (17/1/2023) lalu terjadi karena adanya godaan dari salah satu parpol. (pam/fau)