Namun, berbanding terbalik, negara Amerika Serikat (AS) semakin kehilangan perannya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning mengatakan, Beijing siap mendukung kedua belah pihak dalam membina hubungan baik. Mendesak masyarakat internasional untuk membantu negara-negara Timur Tengah menyelesaikan perbedaan mereka.
“Taktik hegemoni kolonial yang membangkitkan kontradiksi, menciptakan keterasingan dan perpecahan harus ditolak oleh orang-orang di seluruh dunia,” beber Mao Ning.
Sementara itu, seorang rekan senior di Pusat Studi Strategis Timur Tengah Abas Aslani mengatakan, Iran dan Saudi sebelumnya berfokus pada persaingan dan ketegangan. Namun, kini keduanya mulai berfokus pada kerja sama guna meningkatkan hubungan bilateral.
“Tetapi pada tingkat bilateral, sejauh mana mereka dapat melanjutkan tergantung pada bagaimana tindakan Saudi karena Iran telah berada di bawah sanksi ekonomi oleh Barat; itulah mengapa kita harus melihat bagaimana mereka akan melanjutkannya,” terang Aslani.
Rentetan Ketegangan
Diketahui, Iran dan Saudi memutuskan hubungan bilateral pada tahun 2016 silam.
Bertepatan setelah Arab Saudi mengeksekusi pemimpin Muslim Syiah Nimr al-Nimr.
Sehingga mengakibatkan pengunjuk rasa Iran menyerang misi diplomatik Saudi. Hal ini menjadi salah satu dari serangkaian titik konflik antara dua negara tersebut.
Kerajaan kemudian meminta diplomat Iran untuk pergi dalam waktu 48 jam saat mengevakuasi staf kedutaannya dari Teheran.
Hubungan antara keduanya yang telah mengalami pasang surut selama lebih dari 40 tahun kian memburuk, lantaran pertaruhan posisi berlawanan dalam konflik di Suriah dan perang di Yaman. Di mana gerakan Houthi yang bersekutu dengan Iran turut berperang.
Lebih lanjut, pada 2019 Saudi menyalahkan serangan terhadap fasilitas minyak Aramco oleh Imran, yang melumpuhkan setengah dari produksi minyaknya. Namun, pihak Iran menyangkal tuduhan tersebut.
Rentetan kasus tersebut pun berdampak pada meningkatnya hubungan antara Saudi dan Iran. (spm/ads)