ANDALPOST.COM – Kondisi ekonomi dunia pasca pandemi memang mengalami kemunduran. Tidak hanya negara kecil yang berjuang untuk bertahan, negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan juga China juga berkutat membuat kebijakan demi menyelamatkan sektor ekonomi masing-masing.
Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melambat seperti kinerja ekspor yang memburuk. Dilansir dari Reuters, ekspor Negara Tirai Bambu tersebut diprediksi mengalami penurunan pada bulan Juli kemarin.
Hal ini dikarenakan negara produksi nomor dua terbesar di dunia tersebut berjuang untuk menemukan konsumen baru. Negara-negara lain memang secara bersamaan sedang mengurangi permintaan impor dikarenakan ingin menekan nilai inflasi yang tinggi dan juga kenaikan suku bunga.
Menurut perkiraan 28 pakar ekonomi dunia, ekspor outbound kemungkinan akan menurun 12,5% dari tahun ke tahun pada bulan Juli, setelah penurunan 12,4% pada bulan Juni. Nilai ini lebih besar dibanding bulan sebelumnya.
Sejarah buruk perekonomian China
Jika perkiraan para analis ini benar terjadi, maka ini melanjutkan tren memburuknya perekonomian China. Awalnya, perekonomian China memburuk pada awal-awal pandemi yaitu pada bulan Februari 2020.
Saat itu, ekspor China bahkan menurun hingga ke angka 17,2%. Apalagi negara tersebut memberlakukan aturan Covid yang super ketat. Tidak hanya itu, pada saat Covid, China juga melakukan pemblokiran di seluruh wilayahnya. Oleh karenanya para pegawai yang bergerak di sektor logistik hanya berada di rumah.
Aktivitas manufaktur China menurun untuk bulan keempat berturut-turut pada bulan Juli. Hal ini tentu membahayakan harapan pertumbuhan kuartal ketiga dan meningkatkan tekanan pada pejabat untuk memenuhi langkah-langkah kebijakan yang dijanjikan untuk mendukung permintaan domestik, dengan industri jasa dan konstruksi di ambang kontraksi.
Pada konferensi pers yang digelar oleh Kementerian Ekonomi China pada pekan lalu, Kementerian terkait menargetkan adanya perbaikan pada sektor ekonomi negara. Namun, pihak otorisasi China juga menyadari adanya kesulitan pada investor yang ingin berkontribusi pada sektor bisnis negara tersebut.
Para investor diketahui tertekan pada proposal yang diajukan. Padahal para investor telah bersiap untuk mengembakan sektor otomotif, real estate, dan layanan lainnya. Para investor juga berniat untuk memperpanjang alat dukungan pinjaman untuk perusahaan kecil dan menengah hingga akhir 2024.
Perlu juga diketahui bahwa pasar utama China menghadapi peningkatan biaya pinjaman di hadapan inflasi yang meningkat. Ibukota Beijing telah mencoba untuk konsumsi domestik tanpa melonggarkan kebijakan moneter terlalu banyak hal ini dilakukan guna menekan inflasi negara tersebut.
Nilai impor kian menurun
Impor diperkirakan telah menurun sebesar 5,0% pada bulan Juli, setelah penurunan 6,8% pada bulan Juni, menunjukkan sedikit peningkatan permintaan lokal.
Namun, ekspor Korea Selatan ke China, indikasi utama untuk impor ke kekuatan Asia, turun 25,1% dari tahun ke tahun pada bulan Juli. Penurunan paling tajam dalam tiga bulan.
Perkiraan median survei ini menunjukkan hanya perubahan kecil dalam surplus perdagangan China, dengan analis memprediksi akan menjadi $70,60 miliar, naik dari $70,62 miliar pada bulan Juni.
Meski begitu, perkiraan para analis belum tentu benar adanya. Sebab pemerintah China baru akan mengumumkan kinerja ekonomi pada bulan Juli di hari ini yaitu Selasa (8/8/2023). (paa/fau)