ANDALPOST.COM – Belakangan ramai soal nasib petani milenial dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat pangan.
Petani menjadi poros utama dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Namun sayangnya profesi petani di dalam negeri bukanlah pada masyarakat yang berada di usia emasnya.
Hampir sebagian besar didominasi oleh kalangan yang sudah tidak produktif lagi. Artinya banyak kaum milenial yang jarang sekali mau mengambil profesi sebagai petani.
Hal tersebut terjadi oleh milenial yang hidup di kota, melainkan di desa pun sama halnya. Menurut Asep Setyabudi (21) salah satu petani milenial yang berada di Desa Dukun, Magelang mengatakan jika mereka yang hidup di desa sudah diberkahi untuk menjadi petani.
Maksudnya adalah mereka sudah memiliki lahan yang luas yang bisa saja tinggalan orang tua dan letak geografis yang menyebabkan tanah menjadi subur.
“Mereka yang tinggal di desa sudah punya modal, istilahnya diberkahi dengan tanah yang luas serta kondisi tanah yang masih subur,” ujar Asep saat ditanya di kediamannya, Minggu Sore (3/9/2023).
Akan tetapi saya juga paham apa yang dipikirkan milenial saat ini, yakni mereka ingin mencari profesi yang punya jaminan hingga hari tua nanti.
“Tapi menjadi petani bukan hanya sebatas itu saja, memang dianggap profesi mulia, tetapi sistem pertanian di negeri ini masih sangat bobrok,” ungkapnya.
Keresahan Petani Jamur Kuping Milenial
Mahasiswa ISI Yogyakarta jurusan Etnomusikologi itu mengatakan jika rata-rata mereka bahkan yang tinggal di desa enggan meneruskan warisan tersebut.
Mereka yang diwarisi lahan lebih memilih untuk mengalih fungsikannya menjadi bangunan hingga tempat usaha yang lain. Asem menceritakan menurut pengalamannya mereka rata-rata malu menjadi petani, karena pekerjaannya di lapangan dan panas.
“Ya siapa sekarang yang mau menjadi petani mas anak muda, apa mau mereka berjibaku dengan lumpur panas-panasan?” tanyanya.
Atas keresahan itulah dia ingin menjadi petani. Dengan beberapa pertimbangan di atas Asep kemudian menemukan komoditi pertanian yang relevan yakni membudidayakan jamur kuping.
Menurutnya budidaya jamur kuping menjawab keresahan soal menjadi petani di kalangan milenial. Pasalnya mereka tidak melulu berjibaku dengan panas dan kotor-kotoran. Hal ini karena pembudidayaannya yang sederhana sekaligus bisnis yang menjanjikan di masa depan.
“Dari keresahan tadilah saya kemudian memutuskan untuk mengelola jamur kuping.”
“Selain karena kita tidak perlu berjibaku dengan kotor-kotoran dan panas, merawat jamur sangat mudah dan sederhana, hanya disirami air saja setiap pagi dan menjelang sore.”
“Tempatnya juga tertutup dan sejuk nggak perlu repot.”
“Selain itu cocok juga buat kalian yang masih belajar membangun bisnis atau punya kesibukan lain,” sebut Asep.
Mengapa Jamur Kuping?
Jamur Kuping menjadi alternatif untuk para masyarakat yang kurang menyukai daging-dagingan. Selain itu teksturnya yang kenyal membuatnya cocok untuk dijadikan berbagai olahan makanan.
Namun fakta lainnya di daerah khususnya Magelang, belum banyak masyarakat yang akrab dengan olahan makanan berbahan Jamur Kuping sendiri. Pasalnya belum banyak petani yang terlibat.
Oleh karena itu, Asep mencoba untuk terjun mengembangkan usaha ini, sekaligus menjadi promotor agar para kawula muda mau menjadi petani milenial sepertinya.
‘Saya punya ribuan jamur yang sudah siap panen, untuk hasil ya lumayan bisa buat saya kuliah dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.”
“Namun visi besar saya jelas bukan itu, saya ingin meng-influence para kawula muda khususnya di Magelang ini untuk mau bergelut di bidang pertanian seperti saya.”
“Hal ini semata-mata untuk berdaulat secara pangan dan ekonomi.”
“Selain itu, adaptasi soal pasar juga begitu penting.”
“Kecanggihan teknologi saat ini harusnya mampu dikolaborasikan untuk menciptakan pasar yang sehat dan ramah kepada sektor UMKM kerakyatan seperti saya ini,” tutup Asep. (pam/fau)