Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Terima Penghargaan di Oslo

Aktivis HAM Ales Bialiatski menerima 2020 Right Livelihood Award di Stockholm, Swedia (Sumber: Anders Wiklund/TT News Agency via Reuters)

ANDALPOST.COM – Pemenang hadiah Nobel perdamaian menerima penghargaan di Oslo, Sabtu (10/12/2022). Pemenang tersebut mencakup para aktivis andal Belarusia, Rusia, serta Ukraina karena telah mempromosikan hak untuk mengkritik kekuasaan dan melindungi hak-hak dasar warga negara.

Aktivis Ales Bialiatski serta kelompok Pusat Kebebasan Sipil Ukraina merupakan beberapa di antara penerima penghargaan tersebut.

Penghargaan senilai Rp14 miliar itu akan diberikan berbarengan dengan peringatan kematian industrialis Swedia Alfred Nobel yang juga pendiri penghargaan tersebut pada 1895 silam.

Dalam kutipannya, Komite Nobel Norwegia menjelaskan para penerima penghargaan telah melakukan upaya luar biasa untuk mendokumentasikan kejahatan perang, pelanggaran hak asasi manusia, dan penyalahgunaan kekuasaan.

“Bersama-sama mereka menunjukkan pentingnya masyarakat sipil untuk perdamaian dan demokrasi,” ungkap Komite Nobel Norwegia.

Berikut ini nama penerima penghargaan yang dikutip dari Al Jazeera.

1. Ales Bialiatsk

Ales Bialiatski (60) merupakan aktivis hak asasi manusia Belarusia andal nan populer. 

Dia merupakan pemenang keempat yang mendapat Hadiah Nobel Perdamaian saat mendekam di balik jeruji besi.

Dia juga dikenal sebagai pendiri kelompok hak asasi manusia ternama Viasna yang berada di garda terdepan dalam upaya untuk mendokumentasikan pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah Presiden Belarusia Alexander Lukashenko.

Ales Bialitski dipenjara pada Juli 2021 lalu menyusul protes besar-besaran atas pemungutan suara nasional yang membuat Lukashenko tetap berkuasa selama enam tahun kedepan.

Organisasinya mendokumentasikan penyiksaan terhadap tahanan politik oleh otoritas Belarusia dan memberikan dukungan kepada para demonstran yang dipenjara dan keluarga mereka.

Sesaat sebelum ditangkap, Bialiatski mengutuk tindakan keras tersebut, dengan mengatakan bahwa otoritas lokal “bertindak sebagai rezim.”

Bialiatski sebelumnya menghabiskan tiga tahun di penjara setelah dinyatakan bersalah pada tahun 2011 karena penggelapan pajak. 

Namun, dengan tegas Bialiatski membantah tuduhan tersebut.

Pendukungnya menganggap penangkapan itu sebagai upaya untuk membungkam Ales Bialiatski.

Bialiatski dua kali dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian yakni pada tahun 2006 dan 2007.

2. Memorial

Memorial merupakan salah satu kelompok hak asasi manusia tertua dan paling disegani di Rusia.

Organisasi tersebut didirikan bersama fisikawan dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Andrei Sakharov pada tahun 1987 untuk mengungkap kejamnya penindasan Soviet.

Tetapi, misi itu dipandang sebagai pengkhianatan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin.

Kemudian, organisasi tersebut ditutup atas perintah pengadilan pada Desember 2021 dengan alasan melanggar undang-undang.

Namun, organisasi itu tetap beroperasi tanpa registrasi resmi.

Mereka mendokumentasikan masa lalu totaliter Rusia dan mengorganisir inisiatif pendidikan untuk menyebarkan kesadaran di kalangan penduduk.

Menurut Komite Nobel Norwegia, karya Memorial berdasar pada gagasan untuk menghadapi kejahatan serta mencegah kejahatan baru.

Pusat Hak Asasi Manusia menjadi subyek pertarungan hukum awal tahun ini karena pemerintah berusaha merebutnya dengan alasan membenarkan “kegiatan teroris”.

Pada tahun 2020, pengadilan meningkatkan hukuman sejarawan Yuri Dmitriev, yang memimpin cabang Memorial di Republik Karelia utara, dari 3,5 menjadi 13 tahun penjara.

Dia dinyatakan bersalah atas tuduhan pelecehan seksual.

Tapi kasus tersebut hanya dianggap sebagai pembalasan karena Dmitriev berhasil menemukan bukti situs pemakaman massal yang digunakan oleh polisi rahasia pemimpin Soviet Joseph Stalin.

3. Pusat Kebebasan Sipil

Sejak Rusia melancarkan invasinya ke Ukraina pada bulan Februari lalu, Pusat Kebebasan Sipil telah mendokumentasikan kejahatan perang terhadap penduduk sipil.

Bekerja sama dengan badan-badan internasional, termasuk Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), organisasi tersebut juga terlibat dalam upaya mencatat relokasi paksa warga sipil dari wilayah pendudukan Ukraina ke Rusia.

Organisasi yang didirikan pada tahun 2007 ini memanfaatkan pengalamannya selama puluhan tahun dalam mencatat kasus-kasus pemenjaraan yang melanggar hukum dan pelanggaran lainnya.

Ketika Rusia secara sepihak merebut Semenanjung Krimea pada tahun 2014, kelompok tersebut mulai mendokumentasikan orang-orang yang menentang Kremlin, termasuk aktivis serta jurnalis.

Pusat Kebebasan Sipil juga menekan otoritas Ukraina untuk memastikan negara berkembang menjadi demokrasi penuh yang diatur oleh aturan hukum.

(SPM/FAU)