ANDALPOST.COM – Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana pada hari Minggu (28/5/2023) mengejutkan publik usai membuat cuitan terkait sidang pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu.
“Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup. Kembali memilih tanda gambar partai saja.
Info tersebut menyatakan, komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting,” tulis Denny di Twitter pribadinya @Dennyindrayana.
Sidang mengenai aturan memang sudah berjalan sejak beberapa waktu lalu, Makanya cuitan Denny tersebut membuat publik banyak yang berkomentar. Meski telah membocorkan hasil sidang tersebut, Denny enggan mengumumkan siapa yang membocorkan informasi tersebut.
“Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan Hakim Konstitusi,” lanjut Denny dicuitan yang berbeda.
Kembali ke Orde Baru
Jika memang benar sistem pemilu akan kembali ke sistem pemilihan tertutup maka kita akan kembali ke Zaman Orde Baru. Melalui dari laman Hukum Online, Sistem Proporsional Tertutup dalam Pemilu adalah salah satu sistem perwakilan berimbang. Dengan sistem proposional tertutup, pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat.
Dalam 20 tahun terakhir, pelaksanaan pemilu menganut sistem terbuka. Meski tetap mengalami pro dan kontra, sistem pemilu ini berhasil mendapat pujian dari banyak pihak. Hal ini karena keberhasilan Indonesia melaksanakan pemilunya dengan baik dan telah menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, setelah India dan AS.
Tujuan Gunakan Sistem Proposional Tertutup
Alasan diadakannya kajian terkait UU Nomor 7 Tahun 2017 tersebut karena mempertimbangkan banyak hal seperti tanggapan bahwa selama Pemilu Terbuka diadakan. Partai Politik merasa teramputasi karena masyarakat memilih berdasarkan figur, bukan lagi citra partai politik.
“Dengan pemilu secara proporsional terbuka, kelembagaan partai politik teramputasi karena meski ia peserta pemilu legislatif tetapi yang muncul dominan adalah figur orang per orang. Akibatnya, partai politik tidak lagi dipandu oleh visi idealisme, kebangsaan, ideologi, kaderisasi, dedikasi dan kompetensi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Tetapi sudah tergantikan dengan demokrasi elektoral, pragmatis, short cut dan ketika terpilih akan menggunakan kekuasaannya untuk mengembalikan modal,” jelas Hafid.
Dengan keadaan seperti itu, partai politik tidak lagi berdaya dalam menjalankan perannya. Misalnya dalam menyiapkan kaderisasi terbaik bangsa, melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya.
Hal ini dapat meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan seterusnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.