ANDALPOST.COM – Penelitian di bidang kesehatan baru-baru ini memaparkan bahwa kesehatan mental memiliki dampak pada kelahiran anak. Menurut penelitian yang diterbitkan oleh Lancet Psychiatry pada Senin (14/8/2023) menemukan fakta bahwa wanita yang berjuang dengan kesehatan mental mereka memiliki risiko kelahiran prematur hampir 50% lebih tinggi.
Lancet Psychiatry memeriksa data dari lebih dari 2 juta kehamilan di Inggris dan menemukan sekitar satu dari 10 wanita yang menggunakan layanan kesehatan mental mengalami kelahiran prematur. Dibandingkan dengan satu dari 15 pasien yang anaknya tidak lahir prematur.
Studi ini juga menemukan hubungan yang jelas antara tingkat keparahan kesulitan kesehatan mental sebelumnya dan hasil yang merugikan saat lahir. Wanita yang pernah dirawat di rumah sakit jiwa hampir dua kali lebih mungkin mengalami kelahiran prematur dibandingkan dengan wanita yang sebelumnya tidak pernah berhubungan dengan layanan kesehatan mental.
Fakta lain menemukan bahwa wanita dengan riwayat kesulitan kesehatan mental menghadapi risiko lebih tinggi melahirkan bayi yang kecil untuk usia kehamilannya (75 per 1.000 kelahiran dibandingkan dengan 56 per 1.000 kelahiran).
Studi tersebut merekomendasikan bahwa ketika wanita hamil pertama kali diperiksa oleh dokter dan bidan, kesehatan mental tidak boleh terlewatkan. Meskipun permasalahan kesehatan mental merupakan hal yang sensitif, belakangan pertanyaan tersebut tidak boleh dilupakan saat melakukan kontrol.
Pentingnya skrining awal ibu hamil
Skrining hampir terus dilakukan di semua jenis penyakit. Menurut laporan Louise Howard seorang profesor emerita dalam kesehatan mental wanita di King’s College London, mengatakan skrining khususnya membahas kesehatan mental dapat membantu mengidentifikasi kemungkinan hal yang terjadi.
Karena berawal dari kesehatan mental, masalah lain bisa timbul apalagi jika berkaitan dengan ibu hamil. Keterkaitan anak dalam kandungan dan ibu hamil memang erat sehingga apapun yang terjadi atau dirasakan oleh sang ibu, mau tidak mau akan dirasakan oleh sang bayi.
Lebih lanjut sang profesor emerita mengatakan bahwa penyakit mental bukanlah sebuah penyakit yang tidak dapat diobati. Yang penting ialah seorang yang mengidap penyakit tersebut bisa melakukan kontrol terhadap hal-hal lain yang merusak organ tubuh dalam.
“Penyakit mental adalah masalah yang dapat diobati… Profesional persalinan akan berfokus pada pemikiran tentang faktor risiko lain yang dapat dimodifikasi seperti merokok dan obesitas. Tetapi mereka mungkin tidak memikirkan beberapa risiko tambahan yang mungkin dimiliki oleh wanita dengan penyakit mental.”
Pengetahuan petugas kesehatan yang berada di klink hingga fasilitas juga harus paham betul mengenai penyakit mental. Sehingga jika ada ibu hamil yang datang bisa dikulik lebih dalam separah apa penyakit mental yang dialaminya.
“Pentingnya penelitian ini adalah hubungan hasil kelahiran yang merugikan dengan tingkat keparahan penyakit. Ini juga menekankan perlunya pelatihan bidan dan dokter kandungan yang sangat baik seputar masalah kesehatan mental,” lanjut Howard.
Studi tersebut menemukan bahwa 0,65% ibu hamil yang dirawat di rumah sakit jiwa mengalami kelahiran mati dibandingkan dengan 0,45% wanita yang tidak memiliki perawatan kesehatan mental pra-kehamilan. Meski begitu, persentase kematian bayi masih cukup kecil tapi tetap saja setiap ibu harus berjaga-jaga. (paa/fau)