ANDALPOST.COM — Pengadilan tinggi mulai mempertimbangkan tantangan mengenai penerapan aturan langsung di Kashmir yang dikelola India.
Keputusan tersebut disertai aksi penangkapan massal serta pemadaman internet selama berbulan-bulan.
Bangku konstitusional Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin oleh Ketua MA Dhananjaya Yeshwant Chandrachud pada Selasa, (11/7/2023) mengumumkan, akan melakukan dengar pendapat atas petisi yang menentang keputusan pemerintah untuk mencabut status khusus kawasan itu mulai, 2 Agustus.
Pengadilan pun telah mengarahkan semua pihak untuk menyerahkan pengajuan tertulis mereka paling lambat 27 Juli tahun ini.
Selama persidangan, pengadilan juga diberitahu bahwa dua pemohon, yaitu Shah Faesal, seorang birokrat, dan Shehla Rashid, seorang mantan pemimpin mahasiswa.
Keduanya telah menarik permohonan yang diajukan ke pengadilan India.
Gerakan 5 Agustus 2019
Pada 5 Agustus 2019, pemerintahan Perdana Menteri (PM) Narendra Modi mencabut Pasal 370 konstitusi India yang memperbolehkan Kashmir dikelola India. Beserta kemampuan untuk memiliki konstitusi, bendera, dan badan legislatif dua majelis sendiri dengan wewenang untuk memberlakukan undang-undangnya masing-masing.
Penangguhan otonomi terbatas wilayah itu disertai dengan undang-undang lain serta membatalkan Pasal 35A yang memberikan wewenang kepada Kashmir meski di bawah India dapat menentukan penduduknya. Serta menerapkan pembatasan pada orang luar untuk memperoleh properti atau mendapatkan pekerjaan pemerintah di wilayah tersebut.
Sebagai hasil dari perubahan ini, satu-satunya wilayah mayoritas Muslim di negara itu ditata ulang dari sebuah negara bagian, menjadi dua wilayah persatuan yang diatur secara terpusat. Yakni Jammu serta Kashmir, dan Ladakh.
MA di New Delhi pun akan mempertimbangkan apakah langkah untuk menghapus Pasal 370 dari konstitusi itu sah. Meskipun tidak mendapat dukungan dari parlemen yang biasanya diperlukan untuk perubahan konstitusi.
Pemerintah Modi membela keputusan tersebut dalam surat pernyataan yang dikirim ke pengadilan pada Senin (10/7/2023).
“Perubahan membawa perdamaian, kemajuan, dan kemakmuran ke wilayah yang bergolak, tempat pemberontakan jangka panjang melawan pemerintahan India,” klaim Modi.
Namun, politisi Kashmir Omar Abdullah, yang partai Konferensi Nasionalnya membantu membawa kasus tersebut ke meja hijau, mengatakan keputusan dari kisruh tersebut harus adil.
“Pengadilan harus mempertimbangkan ilegalitas dan inkonstitusionalitas dari apa yang telah dilakukan.”
“Bukan apakah pemerintah memiliki kasus politik yang cukup kuat,” beber Omar.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.