ANDALPOST.COM – Country Garden, salah satu pengembang properti terbesar di Tiongkok dikabarkan akan menyusul pesaingnya. Perusahaan yang telah menjadi raksasa real estat terbaru tersebut telah mengungkapkan ke publik bahwa mereka berada dalam ancaman gagal bayar utang.
Hal ini terjadi ketika perusahaan yang dilanda krisis ini melaporkan rekor kerugian sebesar $6,7 miliar (£5,2 miliar) dalam enam bulan pertama tahun ini. Country Garden mengatakan dalam pernyataannya bahwa mereka “sangat menyesal atas kinerja yang tidak memuaskan.”
Pengumuman tersebut menambah kekhawatiran terhadap pemulihan pasca pandemi di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut. Apalagi media di akhir–akhir terakhir dipenuhi dengan kinerja jelek sektor ekonomi China.
Rapor Merah Country Garden
Country Garden telah mengumumkan bahwa mereka sudah melewatkan pembayaran bunga obligasi yang jatuh tempo bulan ini. Namun, pihaknya menambahkan masih dalam masa tenggang 30 hari untuk melakukan pembayaran.
Pihaknya juga dilaporkan berupaya untuk memperpanjang batas waktu pembayaran obligasi lainnya karena mengalami kesulitan. Perusahaan tersebut memperingatkan bahwa mereka dapat gagal membayar utangnya “jika kinerja keuangan grup tersebut terus memburuk di masa depan”.
“Kelompok ini mungkin tidak dapat memenuhi persyaratan keuangan dari pinjaman-pinjaman ini, yang dapat mengakibatkan gagal bayar dalam pinjaman-pinjaman ini dan gagal bayar silang (cross-default) dalam pinjaman-pinjaman tertentu lainnya,” kata Country Garden dalam pengajuan peraturan di Hong Kong.
Awal bulan ini, perusahaan memperingatkan bahwa mereka mungkin mengalami kerugian hingga $7,6 miliar dalam enam bulan pertama tahun ini. Rekor kerugian tersebut berada di bawah perkiraan 45 miliar yuan (Rp 94 Triliun) hingga 55 miliar yuan yang dikeluarkan oleh perusahaan.
Saham Country Garden diperdagangkan sekitar 1% lebih tinggi di Hong Kong pada Kamis (31/8/2023) pagi. Permasalahan di pasar properti Tiongkok yang cukup kompleks, perlambatan ekonomi China terpaksa ikut berperan vital dalam kemerosotan ekonomi negara tirai bambu tersebut.
Industri real estat Tiongkok terguncang ketika peraturan baru untuk mengontrol jumlah uang yang dapat dipinjam oleh perusahaan real estat besar diberlakukan pada tahun 2020. Evergrande, yang pernah menjadi pengembang terlaris di Tiongkok, memiliki utang lebih dari $300 miliar seiring dengan ekspansi agresifnya menjadi salah satu perusahaan terbesar di Tiongkok.
Masalah finansial telah melanda industri properti di negara tersebut, dengan serangkaian pengembang lain yang gagal membayar utangnya dan meninggalkan proyek bangunan yang belum selesai di hampir seluruh wilayah negeri.
Pada akhir pekan lalu, Evergrande membukukan kerugian sebesar 33 miliar yuan selama enam bulan pertama tahun ini. Mengikuti laporan keuangan yang buruk tersebut, saham milik Evergrande juga telah menguap lebih dari 99% nilainya dalam tiga tahun terakhir karena Beijing melakukan tindakan keras terhadap perusahaan properti.
Di samping itu, China juga sedang menghadapi masalah berat di sektor ekonomi. China hharus berjuang di tengah pertumbuhan ekonomi, membengkaknya utang pemerintah daerah, dan tingginya angka pengangguran kaum muda.
Pada hari Kamis (31/8), data resmi menunjukkan bahwa aktivitas di pabrik-pabrik Tiongkok menyusut selama lima bulan berturut-turut. (paa/fau)