Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Direktur Nutrisi dan Keamanan Pangan di WHO, dr. Francesco Branca.
“Lebih dari 70% Negara Anggota telah memberlakukan undang-undang yang menempatkan setidaknya beberapa ketentuan Kode,” terang dr. Francesco.
“Tetapi industri masih memperluas untuk mendorong rangkaian produk susu formula yang semakin meningkat pada keluarga, menggunakan taktik berbahaya untuk mengakses jaringan mereka dan mempengaruhi pilihan mereka,” tambahnya.
Dirinya juga menambahkan, bahwa dalam menangani situasi tersebut, diperlukan peran orang tua yang lebih dibekali oleh informasi yang memadai. Sehingga tidak mudah termakan atau dirusak oleh pemasaran kotor dari para industri susu formula yang dinilai sangat ‘eksploitatif”.
Negara dan Kode Etik
Sebagian besar negara telah memberlakukan ketentuan pemasaran sesuai dengan kode etik yang ada melalui peraturan dan Undang-undang.
Akan tetapi hal tersebut ternyata masih tidak menutupi kemungkinan adanya celah dalam peraturan tersebut. Hingga cenderung membuat negara tetap melanggar kode etik pemasaran pengganti ASI.
Dalam beberapa kasus bahkan, negara tidak memiliki sistem sama sekali dalam pemantauan praktik pasar yang membuat ketentuan penegakan yang melemah dari pemerintah.
Sebuah kasus pernah terjadi di Kenya pada tahun 2022, dimana adanya perilaku praktik pasar yang melanggar kode etik. Akan tetapi, negara tidak mau menerapkan peraturan dan mengembangkan sistem pemantauan untuk mengidentifikasi pelanggaran hukum.
WHO dan UNICEF, telah mengembangkan berbagai alat untuk mengadvokasi penerapan kode etik. Terutama dalam mendokumentasikan tingkat pemasaran susu formula, mengevaluasi undang-undang saat ini, dan mengembangkan sistem pemantauan.
Sementara itu, kemitraan tersebut juga akan bekerja untuk meningkatkan jumlah akses orang tua ke informasi yang tidak memihak. Juga bebas dari pengaruh komersial tentang pemberian makan dan nutrisi bayi. (ben/ads)