ANDALPOST.COM – Hadrah atau lebih populer dengan sebutan Terbangan, perkembangannya tak lepas dari sejarah dakwah Islam. Seni ini memiliki semangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada yang tahu secara persis kapan datangnya musik hadrah di Indonesia. Namun hadrah atau rebana dalam Bahasa Jawa ini biasanya dikaitkan dengan perkembangan dakwah Islam oleh para Wali Songo.
Dari beberapa sumber yang tim The Andal Post ketahui, mereka menyebutkan bahwa setiap tahun di serambi Masjid Agung Demak, Jawa Tengah, musik dengan rebana ini ikut meramaikan perayaan Maulid Nabi.
Kebiasaan Seni dari Yaman
Diketahui bahwa para Wali Songo seringkali mengadopsi rebana dari Yaman (Hadramaut) sebagai kebiasaan seni musik untuk dijadikan media berdakwah di Indonesia.
Menurut keterangan ulama besar Palembang, Al Habib Umar Bin Thoha Bin Shahab, kakek dari Wali Songo (kecuali Sunan Kalijaga) yakni Al Imam Ahmad Al Muhajir, adalah yang pertama mencetuskan.
Ketika hijrah ke Hadramaut, ia bertemu dengan salah satu pengikut tariqah sufi (darwisy) yang sedang asyik memainkan hadrah (rebana), serta mengucapkan syair pujian kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan pertemuan itu mereka kemudian bersahabat.
Setiap Imam Muhajir mengadakan majelis untuk berdakwah, biasanya disertakan dengan darwisy tersebut, hingga keturunan dari Imam Muhajir tetap menggunakan hadrah disaat mengadakan suatu majelis.
Perkembangan musik hadrah di Indonesia tak terlepas dari peranan Ikatan Seni Hadrah Indonesia (ISHARI). Ishari adalah salah satu badan otonom yang berada di bawah organisasi Nahdlatul Ulama (NU), disahkan pada tahun 1959.
Pengorganisasian dan nama ISHARI ini diusulkan oleh salah seorang pendiri NU yakni KH Wahab Hasbullah.
Menurut Gus Hasib, putra KH Wahab Hasbullah, semasa hidupnya Kiai Wahab sangat senang hadrah. Bahkan kalau sedang diam pun tangannya suka memukul-mukul sebagai isyarat memukul terbang (hadrah) sambil melagukan bacaan sholawat.
Organisasi ISHARI
Karena ia juga senang berorganisasi, akhirnya kelompok hadrah dibuatkan wadah perkumpulannya di bawah organisasi NU dengan nama ISHARI.
Terbentuknya ISHARI di NU menjadi salah satu organisasi yang memelopori tradisi keagamaan warga pesantren. ISHARI biasanya digunakan untuk menghidupkan pembacaan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Hampir seluruh pesantren di Jawa Timur memiliki kegiatan ekstra setiap malam Jum’at untuk menggelar kegiatan shalawatan.
Sebut misalnya Pondok Pesantren Langitan Tuban, Jawa Timur. Selain mendalami ilmu agama, di pesantren yang diasuh oleh KH Abdullah Faqih ini juga terdapat kegiatan seni hadrah untuk para santri.
Hadrah menjadi media apresiasi seni bagi para santri untuk menyalurkan bakat dan minat santrinya. Walhasil, beberapa group pun terbentuk antara lain Annabawiyyah, Arraudhah dan Al-Muqtasida.
Kemahiran para santri dalam bidang seni suara (qiraat) dan seni musik (hadrah) berpadu sehingga tiga grup tersebut dikenal khalayak umum di wilayah Jawa Timur dan sekitarnya, hingga sekarang.
Di era 80-an, musik hadrah yang dikenal dengan nama rebana qasidah menjadi salah satu musik favorit pada saat itu. Grup musik yang menyemarakkan acara-acara tabligh akbar atau perayaan hari-hari besar Islam adalah Nasida Ria yang berasal dari Semarang.
Kepiawaian para personil yang terdiri dari kaum perempuan ini mampu membumikan nama Nasida Ria ke seluruh nusantara sebagai salah satu musik Islami modern.
Lirik dan warna musik yang ditawarkan oleh Nasida Ria mendapatkan sambutan luas dari masyarakat muslim Indonesia. Bahkan, salah satu lagunya yang berjudul ”Perdamaian” dipopulerkan kembali oleh Gigi.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.