ANDALPOST.COM – Kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi terkait simpan dolar mendapat respon keberatan dari para pelaku usaha. Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menyampaikan keberatannya kepada CNN Indonesia yang dirilis pada Selasa (25/7/2023).
Sang Ketua Umum APBI, Pandu Sjahrir mengatakan aturan yang dibuat Jokowi tersebut tentu akan berdampak pada kas para pelaku usaha. Apalagi keuntungan yang didapatkan oleh para pelaku usaha jika berhasil melakukan ekspornya tidak mencapai 30 persen.
“Maka dengan demikian modal kerja yang sudah dikeluarkan eksportir pun akan tertahan di tengah tren penurunan harga serta semakin meningkatnya beban biaya operasional,” kata keponakan Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan itu melalui keterangan resmi, Selasa (25/7/2023) dikutip dari CNN Indonesia.
Pandu juga memberi gambaran terkait industri batu bara dalam beberapa waktu terakhir. Menurutnya, harga batu bara di pasar dunia telah turun hampir satu tahun yang lalu.
Meski harga batu bara terus merosot, yang terjadi di biaya produksi justru sebaliknya. Adanya inflasi hingga kenaikan bahan bakar menjadi alasan kenapa untuk produksi batu bara semakin butuh biaya besar. Tidak main-main, nilai kenaikan mencapai 20 hingga 30 persen dibandingkan harga sebelumnya.
Keluhan lainnya dari pelaku usaha
Di kesempatan yang sama, Pandu juga mengomentari soal kenaikan tarif royalti. Tarif royalti pemegang izin usaha pertambangan (IUP) naik dari 3 persen-7 persen menjadi 5 persen hingga 13 persen. Sedangkan tarif royalti tertinggi bagi pemegang IUPK-kelanjutan operasi produksi menyentuh 28 persen.
“Dengan beban semakin tinggi, sementara tren harga terus turun maka profit margin semakin tergerus jauh di bawah 30 persen sehingga berpengaruh terhadap modal usaha. Hal ini menambah beban eksportir yang dituntut untuk melakukan dekarbonisasi di era transisi energi. Sementara pendanaan untuk proyek-proyek berbasis batubara semakin sulit,” tegas Pandu.
Sebenarnya bukan hanya pelaku usaha tambang saja yang mengeluhkan kebijakan Simpan Dolar tersebut. Di pertengahan Juli lalu, Ketua Umum Arli, Safari Azis selaku ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (Arli), menyampaikan, sebagai eksportir rumput laut, baik berupa bahan baku maupun produk olahan, memerlukan seluruh devisa hasil ekspor untuk digunakan sebagai biaya operasional dan kembali membeli bahan baku yang akan mereka proses, simpan sebagai stok, maupun yang akan diekspor.
“Kewajiban penempatan DHE SDA selama tiga bulan akan menjadi permasalahan serius bagi anggota Arli,” kata Azis yang dikutip dari Bisnis pada Rabu (26/7/2023).
Tidak jauh berbeda dari apa yang dikatakan oleh para pelaku usaha tambang, kebijakan simpan dolar diklaim akan mengganggu perputaran uang sehingga berkemungkinan besar akan berdampak pada penurunan volume ekspor yang signifikan.
Oleh karenanya, dia berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali penerapan aturan ini kepada eksportir yang telah mengkonversi devisanya ke dalam mata uang Rupiah. Dengan begitu, eksportir dapat menggunakan sepenuhnya devisa tersebut untuk keperluan pembelian bahan baku dan biaya operasional.
Alasan Jokowi ngotot minta Eksportir harus simpan dolar
Proses hingga keluarnya aturan ini tentu cukup panjang. Aturan ini juga sebenarnya merupakan revisi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019.
Jokowi juga mengatakan bahwa dirinya ngotot diberlakukannya aturan ini. Hal ini lantaran ia melihat fenomena bahwa para eksportir lebih nyaman menyimpan dolarnya di luar negeri.
Oleh karena itu, Jokowi meminta jajarannya untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). (paa/fau)