ANDALPOST.COM – Kepala Pariwisata Bali, Tjokorda Bagus Pemayun, mengatakan bahwa hotel di bali tidak akan meminta bukti pernikahan kendati telah terbit RUU KUHP baru. Undang-Undang ini telah disahkan pada Selasa (06/12/2022).
Pemayun menyebutkan bahwa orang asing yang berlibur ke Bali tidak boleh terhalang untuk mengunjungi pulau tersebut. Hal itu memang berkaitan erat dengan RUU KUHP yang mengkriminalisasi seks pranikah dan hidup bersama.
Dalam peraturan baru tersebut orang yang melakukan hubungan seks di luar nikah atau hidup bersama dapat dilaporkan ke polisi. Namun, mereka yang melanggar hukum hanya dapat dilaporkan kepada pihak berwajib oleh orang tua, pasangan atau anak-anaknya.
Di dalamnya juga mengatur hukuman untuk seks pranikah maksimal satu tahun penjara atau denda Rp10 juta. Sedangkan bagi pasangan yang tinggal bersama namun tidak terikat pernikahan dapat dijatuhi hukuman enam bulan penjara serta denda Rp10 juta.
Pengesahan RUU tersebut justru menimbulkan kekhawatiran bahwa orang asing akan susah untuk berkunjung ke Indonesia, termasuk Bali. Walaupun begitu, perlu diketahui bahwa RUU akan mulai berlaku pada tiga tahun mendatang.
Pemayon menegaskan bahwa para wisatawan asing tidak perlu khawatir kendati ada RUU KUHP tersebut. Mereka tidak akan menanyakan status perkawinan mereka jika datang ke Bali.
“Jangan khawatir karena berdasarkan diskusi kami dengan berbagai asosiasi hotel dan pariwisata, hotel tidak akan menanyakan status perkawinan (dokumentasi),” terang Pemayon.
“Saat orang tiba di hotel, mereka datang untuk bersantai. Mereka akan diperlakukan seperti sekarang (tanpa diperiksa status perkawinannya),” imbuh dia.
Sementara itu, Kepala Asosiasi Agen Perjalanan dan Tur Indonesia cabang Bali, Putu Winastra, juga mengatakan hal senada dengan Pemayon.
“Masyarakat yang datang ke Bali akan tetap merasa nyaman karena pihak hotel akan menjamin privasinya. Jika mereka datang dengan pasangannya, hotel akan memberi mereka kamar,” terang Winastra.
“Saya yakin pihak hotel tidak akan pernah meminta surat nikah Anda. Apakah Anda sudah menikah atau belum, mereka tidak akan pernah bertanya kepada Anda karena itu masalah pribadi.”
“Dan saya telah berbicara dengan asosiasi manajer umum hotel, mereka akan merahasiakan status perkawinan orang-orang,” jelas Winastra.
Pernyataan dari Pemayon dan Winastra tersebut disampaikan di tengah kekhawatiran RUU KHUP yang dapat merugikan perekonomian Indonesia. Padahal saat ini mereka baru saja pulih dari pandemi COVID-19.
Menurut data, wisatawan dari Australia merupakan kelompok wisatawan terbesar yang kerap mengunjungi Bali. Setidaknya sekitar satu juta dari mereka mengunjungi Bali setiap tahun sebelum pandemi COVID-19.
Namun, pada Rabu (07/12/2022), pemerintah Australia mengungkapkan bahwa mereka tengah mencari informasi terkait hukuman pidana baru lantaran berdampak pada warga negaranya yang ada di Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, dengan tegas Winastra mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk tidak mengunjungi Pulau Dewata.
“Kami tidak ingin wisatawan menghindari Bali. Dengan diadakannya G20 di Bali baru-baru ini, eksposurnya bagus sehingga orang-orang berwisata ke Bali,” ungkap Winastra.
“Kami optimis pada tahun 2023 akan ada peningkatan kunjungan, jadi kami berharap hukum pidana tidak berpengaruh karena hotel akan memastikan privasi orang-orang,” tegasnya.
Meski begitu, beberapa sektor perhotelan di Bali masih ada yang merasa khawatir.
“Kami khawatir karena seperti yang kita tahu, tidak semua turis yang datang ke sini sudah menikah,” ujar Eka Sri yang bekerja di Black Penny Villas di Ubud, Bali.
“Tapi sampai ada kejelasan, kami akan tetap berpegang pada peraturan yang ada dengan tidak memeriksa status perkawinan orang,” sambung Sri.
Kekhawatiran serupa juga dirasakan oleh Agi Arisetyawan selaku manajer hotel Anmon Bintan.
“Kebebasan turis bisa direnggut oleh hukum pidana baru yang menurut saya sangat bertentangan dengan konsep pariwisata,” ungkap Agi.
“Saya dan pelaku perhotelan lainnya sangat menolak KUHP dan semoga ada reviewnya meski ini (baru) berlaku dalam tiga tahun. Karena ini tidak berpihak pada pariwisata Indonesia,” bebernya.
RUU tersebut merupakan revisi hukum pidana negara saat ini. Kitab Undang-undang Hukum Pidana saat ini diyakini sudah ketinggalan zaman karena disahkan pada masa penjajahan Belanda sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945 silam.
KUHP baru ini terdiri dari 624 bab. Mencakup berbagai hal, mulai dari seks di luar nikah hingga kebebasan berbicara.
(SPM/MIC)