ANDALPOST.COM – Keluarga korban gagal ginjal akut progresif Atipikal (GGAPA) layangkan gugatan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes). Ini karena sebelumnya mereka lalai atas peredaran obat sirup beracun yang menyebabkan 199 anak meninggal dunia.
Hingga saat ini sikap BPOM dan Kemenkes masih diam seolah kejadian tersebut hanya kejadian angin lalu.
Sebelumnya, keluarga korban melalui kuasa hukumnya sudah melakukan tuntutan kepada dua lembaga instansi pemerintah tersebut. Kini gugatan kembali dilayangkan melalui tuntutan maladministrasi oleh BPOM dan Kemenkes.
Gugatan tersebut dilayangkan kepada Ombudsman RI, atas sikap kelalaian BPOM dan Kemenkes. Pasalnya, dua instansi tersebut punya wewenang penuh atas ketentuan dan syarat ijin obat beredar di Indonesia.
Menyikapi hal ini, pimpinan Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, telah menerima laporan pihak korban. Diketahui jika Keluarga Korban GGAPA dan TAUK juga telah melakukan audiensi bersama.
“Tim bersama korban mendesak Ombudsman RI untuk segera menindaklanjuti laporan keluarga korban,” kata anggota Tim Advokasi, Siti Habibah melalui keterangan tertulisnya, Jumat (23/12/2022) dikutip dari Tirto.
Disinyalir Ombudsman RI telah menemukan adanya maladministrasi yang dilakukan oleh BPOM RI. Temuan tersebut terjadi ketika proses pre-market dan post-market kontrol.
Keteledoran ini menyebabkan lolosnya beberapa obat beracun ke peredaran hingga dikonsumsi dan menyebabkan korban berjatuhan.
Tidak hanya BPOM-RI saja yang patut disalahkan pasalnya ada indikasi maladministrasi yang sama oleh Kemenkes. Beberapa diantaranya adalah sikap Kemenkes yang lamban menangani kasus ini serta tidak menjadikannya Kejadian Luar Biasa (KLB).
Berikut maladministrasi yang dilakukan oleh Kemenkes terkait kejadian keracunan masal ini.
- Menkes tidak kompeten karena belum menetapkan tragedi obat beracun sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB);
- Menkes gagal melakukan pengendalian penyakit tidak menular dengan pendekatan surveilan faktor risiko, registri penyakit (pendataan dan pencatatan) dan surveilan kematian mengenai GGAPA pada anak;
- Kemenkes RI gagal mensosialisasikan dan menegakkan peraturan secara luas terhadap fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tentang tata laksana dan manajemen klinis GGAPA pada anak akibat EG dan DEG;
- Kemenkes RI tidak menyampaikan informasi secara luas mengenai kesimpulan penyebab GGAPA pada anak yang terkonfirmasi akibat konsumsi obat sirup beracun yang mengandung EG dan DEG melampaui ambang batas.
Kejadian ini, menurut Habibah, menjadi bukti betapa buruknya pelayanan negara kepada masyarakatnya di bidang kesehatan.
“Dengan meloloskan ijin peredaran obat sirup beracun yang mengakibatkan sekitar 200-an anak meninggal dunia dan 124 anak lainnya harus menderita gangguan ginjal akut serta penyakit penyerta lainnya,” ucapnya.
Habibah juga menambahkan bahwa maladministrasi yang dilakukan ini membuat Kemenkes dan BPOM gagal menjalankan Pasal 15 huruf e,f dan h UU No. 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
“Penyelenggara pelayanan publik berkewajiban untuk memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik,” ucapnya.
“Termasuk gagal melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan dan memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diselenggarakan,” jelas Habibah.
Oleh karena itu pihak yang paling bertanggungjawab atas peristiwa ini adalah Kemenkes dan BPOM RI. Menurutnya, hal ini juga berkaitan dengan pasal 1 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman RI.
“Kami meminta Ombudsman RI melakukan investigasi dan mengeluarkan rekomendasi atas maladministrasi yang dilakukan oleh Kemenkes RI dan BPOM,” pungkasnya.
Sebelumnya, mereka juga telah menggugat pihak perusahaan PT Afi Farma Pharmaceutical Industry dan PT Universal Pharmaceutical Industries selaku produsen obat.
Lima perusahaan supplier bahan baku obat yakni, PT Megasetia Agung Kimia, CV Budiarta, PT Logicom Solution, CV Mega Integra, dan PT Tirta Buana Kemindo juga menjadi sasaran gugatan tersebut.
(PAM/MIC)