Terima Notifikasi Berita Terkini. 👉 Join Telegram Channel.

Keracunan Massal Muncul Setelah Gagal Ginjal Akut, Kemana BPOM dan Kemenkes?

Ilustrasi ratusan anak Indonesia menjadi korban akibat keracunan massal. (Design by @salwadiatma)

ANDALPOST.COM – Sebanyak 199 anak di Indonesia menjadi korban akibat keracunan massal. Kasus yang memilukan itu terjadi pada 16 November 2022 lalu.

Belum genap satu bulan kasus tersebut terjadi, angka korban terus bertambah. Kini sebanyak 324 anak menderita gagal ginjal akut.

Hal ini diakibatkan karena mengonsumsi obat sirup yang tercemar dengan etilen glikol dan dietilen glikol. Padahal zat tersebut diawasi ketat oleh Kemenkes dan Kementrian Perindustrian karena dianggap berbahaya.

Dalam hal ini, BPOM dinilai lalai dalam mengawasi penggunaan kandungan EG dan DEG oleh perusahaan-perusahaan farmasi. Hal ini membuat standarisasi penggunaan kedua zat tersebut menjadi tidak jelas.

Kuasa hukum Awan Puryadi mengklaim bahwa BPOM dan Kemenkes tidak konsisten karena selalu menyatakan keterangan yang berubah-berubah. Padahal peristiwa keracunan sudah muncul sejak September lalu.

“Salah satunya misalkan disampaikan bahwa BPOM ini tidak punya standar untuk mengecek, mengetes cemaran EG dan DEG,” kata Awan kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Selasa (13/12/2022).

Menurutnya, jika terdapat standard khusus yang dijaga dengan ketat maka tidak akan terjadi peristiwa keracunan masal seperti kemarin.

Namun sayangnya, kelalaian ini dapat membuat BPOM menerima gugatan dari para keluarga korban yang terkena dampaknya.

Awan yang mewakili keluarga korban menyampaikan bahwa sikap BPOM seperti tidak bertanggungjawab atas kasus-kasus yang terjadi.

“Karena ada statement-statement yang dengan jelas menyatakan ‘kami tidak ada standar’ ‘kami tidak ada protokol’ dan itu memang tidak ada,” ujar Awan.

Selain BPOM dan Kemenkes, beberapa perusahaan produsen obat turut digugat oleh keluarga korban. Pasalnya perusahaan juga punya peran dalam keracunan masal ini karena menaruh EG dan DEG ke dalam produknya. Apalagi jika mereka mengetahui bahwa keduanya adalah zat yang berbahaya.

Ia menyarankan kepada para perusahaan dan produsen obat untuk menguji mutu dan kemurnian sebelum mendapatkan izin edar.

“Harusnya perusahaan menguji mutu dan kemurnian. Harusnya sudah ditemukan dari awal,” ujarnya.

Terdapat sembilan pihak yang digugat oleh keluarga korban. Mereka diantaranya adalah Kemenkes dan BPOM. Kemudian, PT Afi Farma Pharmaceutical Industry dan PT Universal Pharmaceutical Industries selaku produsen obat.

Selain itu, mereka juga menggugat lima perusahaan supplier bahan baku obat yakni, PT Megasetia Agung Kimia, CV Budiarta, PT Logicom Solution, CV Mega Integra, dan PT Tirta Buana Kemindo.

Dalam tuntutannya pihak korban menuntut agar mereka mendapat ganti rugi secara material dan immaterial. Saat ini kasus mengenai keracunan masal yang menwaskan ratusan anak bangsa itu masih belum usai.

Walau isu tersebut sempat meredup, Awan selaku pengacara bersama para korban masih berjuang memperjuangkan tuntutannya.

Sebelumnya, hakim juga diminta menyatakan para tergugat karena melakukan perbuatan yang melawan hukum. Namun, gugatan tersebut dihapus karena jumlah keluarga korban yang memberikan kuasa bertambah. Gugatan ini nantinya akan direvisi untuk kemudian diajukan kembali.

“Kemungkinan Januari pertengahan baru sidang lagi yang dihadiri semua perwakilan korban,” tutur Awan.

Peristiwa ini menjadi teguran keras bagi dunia medis dan farmasi. Selain itu, orang tua juga perlu untuk berhati-hati dalam memberikan obat kepada sang buah hati.

(PAM/MIC)