ANDALPOST.COM – Konflik brutal di Sudan mulai mereda pada Selasa (25/4/2023). Banyak penduduk setempat dan orang asing pun mulai melarikan diri dari ibu kota Sudan, Khartoum.
Namun, kondisi tersebut justru membuat PBB khawatir dan mengklaim adanya risiko tinggi bahaya biologis di Sudan lantaran perebutan laboratorium.
World Health Organisation (WHO) mengungkapkan salah satu pihak yang bertikai telah menguasai fasilitas kesehatan nasional.
Padahal didalamnya menyimpan patogen campak dan kolera untuk vaksinasi.
Laboratorium Sudah Direbut
Kendati begitu, WHO enggan menyebut pihak mana antara tentara atau Pasukan Dukungan Cepat paramiliter (RSF) yang telah merebut laboratorium.
Selain itu, di dalam laboratorium itu juga berisi bank darah.
Eksodus kedutaan dan pekerja bantuan dari negara terbesar ketiga di Afrika itu menimbulkan kekhawatiran bahwa warga sipil yang tersisa akan berada dalam bahaya lebih besar.
Terlebih jika tidak ditemukan solusi sebelum gencatan senjata yang berakhir pada Kamis (27/4/2023).
Yassir Arman, seorang tokoh terkemuka dalam koalisi politik sipil, Forces for Freedom and Change (FFC). Mendesak kelompok kemanusiaan dan masyarakat internasional untuk membantu memulihkan air dan listrik, serta mengirimkan generator ke rumah sakit.
“Ada mayat berserakan di jalan-jalan dan orang sakit yang tidak dapat menemukan obat, tidak ada air atau listrik. Orang harus diizinkan untuk menguburkan orang mati selama gencatan senjata,” beber Arman.
Seorang warga Khartoum yang enggan menyebutkan namanya mengaku khawatir dengan minimnya perhatian internasional terhadap Sudan.
Kantor kemanusiaan PBB mengatakan telah mengurangi kegiatan karena pertempuran tersebut.
Badan pengungsi PBB memperkirakan ratusan ribu orang akan melarikan diri ke negara tetangga.
Sejak perang memuncak pada 15 April lalu, puluhan ribu orang telah melarikan diri ke negara tetangga, seperti Chad, Mesir, Ethiopia, dan Sudan Selatan, meskipun kondisi di sana juga tidak menentu.
Diketahui, warga sipil yang meninggalkan Khartoum memilih menggunakan mobil dan bus untuk kabur.
Ratusan Nyawa Melayang
Peperangan di Sudan mengakibatkan ratusan nyawa melayang serta mengubah daerah pemukiman menjadi medan perang.
Serangan udara dan peluru artileri telah menewaskan sedikitnya 459 orang, melukai lebih dari 4.000 orang, menghancurkan rumah sakit dan membatasi distribusi makanan di negara tersebut.
Padahal, mereka bergantung pada bantuan untuk sepertiga dari 46 juta penduduknya.
“Di negara yang mengapit Laut Merah, Tanduk Afrika, dan wilayah Sahel, kekerasan berisiko menyebabkan kebakaran dahsyat yang dapat melanda seluruh wilayah dan sekitarnya”, kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Senin (24/4).
Beberapa negara telah menerbangkan staf kedutaan setelah beberapa serangan terhadap diplomat, termasuk pembunuhan seorang atase Mesir yang ditembak dalam perjalanan ke tempat kerja.
Bahkan, sejumlah negara juga mengekstraksi warganya.
Inggris meluncurkan evakuasi besar-besaran warga negaranya dengan penerbangan militer dari lapangan terbang di utara Khartoum.
Senada dengan Inggris, Jerman dan Prancis pun mengevakuasi lebih dari 500 orang dari berbagai negara.
Namun, Prancis mengatakan komandonya justru terkena baku tembak selama proses evakuasi tersebut.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.