ANDALPOST.COM — Warga Suriah yang tinggal di Sudan tak memiliki pilihan lain selain menetap di tengah perang brutal yang terus berlanjut, Sabtu (29/4).
Bahkan mereka terbiasa mendengar suara rudal serta tembakan setiap harinya.
Mulanya, mereka sengaja pindah ke Sudan untuk menyelamatkan diri dari perang di negara asal. Namun, kini harus menghadapi tantangan serupa di negara Sudan.
Pecahnya pertempuran baru-baru ini antara tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat paramiliter telah menghancurkan ilusi keselamatan.
Sekitar 30.000 pengungsi Suriah yang membangun kehidupan baru di Sudan menghadapi ancaman perang serta kehancuran.
Warga sipil Suriah juga ditemukan tewas di Sudan akibat perang tersebut.
Tercatat lebih dari 500 orang tewas dalam 15 hari peperangan yang terjadi di Sudan.
“Sejak awal bentrokan, situasi menjadi sangat mengerikan di ibu kota, Khartoum,” kata Saleh Ismail al-Badran (30), seorang pengungsi Suriah yang berasal dari Raqqa.
“Keluarga Sudan mulai meninggalkan kota dan hanya warga negara asing, termasuk warga Suriah, Mesir, dan warga negara Afrika dan Eropa tetap berada di jalanan pada hari pertama Idul Fitri pada 21 April lalu,” imbuhnya.
Al-Badran sendiri telah tinggal di Khartoum selama enam tahun. Ia menikah dengan seorang wanita Sudan.
Awalnya, ia mengaku takut diserang oleh dua faksi dalam konflik tersebut.
Tetapi, Al-Badran menyadari bahwa gerombolan bersenjata hanya mengambil keuntungan dari situasi keamanan yang memburuk.
“Banyak keluarga Suriah diancam, dirampok, dan terkadang dibunuh selama pemindahan mereka dari Khartoum di tangan geng. Salah satunya adalah teman saya, Ahmed, yang diculik bersama keluarganya, saat mereka meninggalkan Khartoum, oleh sebuah geng.”
“Mereka mencuri semua harta benda mereka, termasuk uang dan ponsel, sebelum salah satu anggota geng membunuh Ahmed dengan menembak kepalanya dua kali setelah dia menolak membiarkan geng menggeledah istrinya,” bebernya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.